Thursday, March 15, 2012

Count Me Away Before You Sleep - Chapter 4

Title:Do You Like Jazz At All?
Author: Me
Characters: Sarah, Brendon, Ryan, Spencer, Jon
Rating: NC-17
Length: 1659 words
Summary: She have it again! And now, takes places in Chicago, Saturday Night, 2008, now you know what I mean.
Author's Note: The best moment ever, and the most cheezy fic i've ever write. pas buat chapter ini, memang pengen ngerasain banget gimana rasanya kita nonton dan masuk jadi cameo film ehehehe. i hope you guys enjoy it!

Don't you just still starving at them, do ya?








                Ruangan ini terlalu dingin. Ia tidak bisa berhenti menggigil. Berapa sih suhu di kamar ini hingga dia tidak dapat merasakan tangannya sendiri? Walaupun selimutnya tebal, tetap saja. Ia tidak pernah menyetel suhu AC kamarnya hingga sedingin ini. Apa bibi tadi pergi ke kamar dan tidak sengaja menyetelnya hingga…
                Tunggu.
                Ia tidak pernah memiliki selimut berwarna cokelat marun. Ia selalu mempunyai sprei berwarna cerah seperti biru, pink, kuning, hitam, dan putih. Dan selimut ini terlalu tebal. Apa sekarang ia sedang mimpi?
                Ia segera bangkit dari tempat tidurnya. Ini sama sekali bukan tipikal kamarnya. Ini seperti kamar hotel. Bagaimana bisa ia terperangkap di sini? Apakah ada orang yang menculiknya? Atau ini hanya mimpi semata seperti kemarin? Sarah mencoba mencubit lengannya. Sakit. Berarti dia sedang di mimpi nyata. Lagi.
                Sarah mencoba melihat sekelilingnya. Kamar ini malah seperti gabungan hotel dan apartemen. Bercat putih dan memiliki sofa dan meja. Di depan matanya terdapat LCD TV yang sedang menayangkan ramalan cuaca. Ia mencoba bangkit dari tempat tidurnya. Di mana remote AC ini?
                Oh, di sana rupanya, gumam Sarah saat ia melihat remote AC tergantung di samping tirai besar berwarna hijau tua. Ia membuka tirai tersebut dengan tali besar berwarna emas, seperti tirai di teater pada umumnya. Ketika dibuka, ia tidak mempercayai matanya sendiri.
                Berbagai gedung pencakar langit bertebaran di sekelilingnya. Seperti melihat kota besar melalui layar bioskop yang nyata. Ia tidak pernah menghirup udara sesegar ini, meskipun bisa ini adalah kota. Dia ingin meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah mimpi, namun bukan. Puas dengan pemandangan yang menakjubkan itu, ia kembali ke dapur karena perutnya sudah memanggil. Hm. Baru kali ini ia menemukan ada hotel yang menyediakan fasilitas dapur di kamarnya.
                Tanpa terasa, matahari telah tenggelam untuk kesekian kalinya, dan Sarah telah menyelesaikan kepuasannya. Makan, sudah. Mandi, sudah. Dan harus diakui, air di kamar hotel ini hangat banget. Pakaian, sudah. Entah kenapa ketika ia membuka kloset ada banyak sekali baju dirinya, seperti lemarinya pindah ke kamar ini. Tempat macam apa ini?
                Ia kembali duduk di tempat tidurnya, dan menyalakan televisi. Apakah ia sekarang adalah penghuni rahasia hotel ini? Ah sudahlah. Lebih baik nikmati saja tempat ini. Kapan lagi bisa melihat kamar special seperti sekarang? Sarah mengambil remote TV di atas meja sebelahnya, sehingga ia tidak perlu melihatnya lagi. Namun..
                “Kertas apaan ini?”
                Tanpa sengaja Sarah memegang kertas kecil berwarna putih. Ini… bukannya konser tiket? Isinya Live In Congress Theater, Saturday, April 24th 2008, 8 PM, VIP seat A8, Panic! At The Disco.
                HAH!?

                Suasana di Congress Theater sangat ramai. Satu jam menuju konser Panic! At The Disco. Oh tidak, pikir Sarah. Ini pasti akan menjadi sangat kacau. Konser ini akan direkam dan difilmkan dan akan dibuat albumnya! Ia telah berulang kali menonton konser ini sebelumnya di Home Theater Alice, tapi ia tidak pernah menyangka akan menjadi salah satu bagian dari Live In Chicago!
                Untung saja ia membawa uang yang cukup banyak, tidak tahu darimana uang itu berasal, dan kunci kamar hotelnya. Suite Home Chicago. Dekat, bangunannya mencakar langit, dan biayanya sangat mahal. Mimpiku kali ini amat sangat aneh, batinnya.
                Ia mengunjungi booth merchandise Panic! At The Disco dan membeli hampir semua jenis merchandise itu. Mudah-mudahan cukup dimasukkan ke dalam tasnya yang cukup besar hingga ada orang yang mengira ia akan piknik dengan tas itu. Biarin. Kapan lagi dapat memiliki limited edition merchandise ini? Dan setidaknya ia akan bertemu Panic! At The Disco setelah konser usai dan memiliki sesuatu untuk ditanda tangani. Astaga. Napasnya terlalu berat untuk dihirup.
                Semua orang telah berteriak “Panic!” kali ini. Sudah diduga. Sarah pun ikut menyumbang meneriakkan kata itu juga. Tiba-tiba, di sisi kiri panggung, layar monitor menyala biru dengan ornament balon udara dan bunga-bunga, dan muncul “Panic At The Disco” dengan tulisan seperti di album Pretty. Odd. mereka. Tiba-tiba penonton di Congress Theater semakin histeris teriakannya. Panggung berhiaskan bunga plastik, layar monitor besar, dan karpet ini akan diguncang. Oh tidak. Ia tidak siap.

                “Oh my gosh, that was the best concert, eveeerrr
                “Yeah! Like I know that would be a blast!”
                “No way! Ryan is having a crush on me! He always looked at me every second!”
                Suara mencicit dari cewek-cewek yang mengantri di booth tanda tangan semakin keras. Memang bener. Konser tadi, that was the best concert ever. Cuman banyak banget orang yang memberontak ke sana ke mari hingga sekuritinya harus kewalahan. Hem. Tidak Indonesia, Amerika pun jadi. Bagaimanapun juga, penampilan mereka kali ini sangat luar biasa. Apalagi tadi Brendon sempat menghancurkan gitar. Ah biasa. Orang kaya.
                Sarah sengaja membiarkan cewek-cewek ganas ini untuk mendapatkan gilirannya duluan dan menjadikannya penutup antrian pada malam itu. Ia juga santai, paling tidak semua orang di gedung ini mempunyai kesempatan. Ia juga telah lelah mendengarkan pekikan fans-fans mereka yang sangat tidak manusiawi. Walaupun ia sendiri juga ngefans sama Panic, tetapi tidak sebegitu gilanya sampai-sampai ada yang membawa spanduk “Fuck Me”.
                Setelah beberapa jam, yang Sarah manfaatkan untuk melatih apa yang akan ia ucapkan pada mereka, gilirannyalah yang tampil. Ketika ia muncul, tiba-tiba ruangan itu terasa sedikit tegang.
                “I think I’ve been saw you before.” ujar Ryan.
                “Really?”sahut Jon.
                “Yeah! Aren’t we, Spencer?”
                “I’m not really sure.”
                “Hey, are you..”
                “Wait. Sarah, is that you?” tanya Brendon.
                Bagaimana bisa mereka mengenalnya dengan secepat itu? Padahal mereka baru bertemu sekali, itupun 4 tahun yang lalu, menurut kalender mereka. Ryan, Spencer dan Brendon yang tadinya lelah berubah cerah secepat kala. Hanya Jon yang tidak tahu apa-apa, karena dia tidak pernah melihat Sarah seumur hidupnya.
                “How did you recognize me that fast?”
                “Dude, you are mysterious. And Brendon always told us about you after you left from Las Vegas, even he just me you once!” jelas Spencer.
                “Yeah, like we just want to get it over, no offense.”tambah Ryan.
                Brendon, yang disindir, malah diam saja dan mukanya semakin memerah. Ada apa dengannya?
                “Okay. I think I’m the only one who don’t know where is this shit was all about. Anyone could help me?”
                “So Brendon met this girl for like 4 years ago in a park in Las Vegas, she said she’s from in the middle of nowhere, and the next day..”
                “Ry, stop. I think we should get her something. Talk that later.” hindar Brendon.
                “So, Sarah, what could we help you right now?”
                Yang ditanya hanya bisa terdiam, lalu tertawa kecil.
                “Maybe you guys can sign this for me?” tanyanya sambil menyerahkan poster konser mereka.
                Dengan cepat, mereka berempat langsung mengambilnya dan memberi tanda tangan secara kilat.
                “Now what else would you want?”
                “How about we go hang some in the café?”
                “So, how are you? Still get that over weird dream again?”
                Yang ditanya malah hanya tersenyum. Akhirnya, setelah menyingkirkan teman-temannya di kafe, Brendon punya kesempatan bertemu dengan Sarah saat Brendon menawarkan dirinya untuk mengantar Sarah ke hotelnya.
                “How could I say? I’m a weird woman.”
                “No you’re not. You just a woman trapped in a weird life. That’s all.”
                “Oh, really? I’m not so sure about that.”
                “But at least I do.”
                Sarah pun tertawa kembali. Tuhan kenapa dia selalu menggombal? Apakah setiap cewek pernah dia gombalin? Namun digombalin idola adalah impian semua orang. Jadi bisa dibilang Sarah termasuk cewek yang beruntung. Tapi, yang namanya digombal pasti punya alas an tersendiri, dong.
Sarah membuka pintunya, melempar tasnya ke atas meja rias, dan berbaring di atas tempat tidurnya, diikuti oleh Brendon yang langsung melompat ke sofa.
                “Wow. You really are rich person. Never know there is a kitchen in a hotel room.”
                “I know, right? Like I’m having a simple sleep then sudden magically I’m on here. What’s happening with me?” suara Sarah sungguh tidak tenang.
                “Slow down. What happened?”
                Brendon segera bangkit dari sofa dan duduk di samping Sarah. Ia tahu, Sarah pasti mengetahui sesuatu tentang mimpi ini. Ia sendiri pun tidak terlalu mengerti bagaimana Sarah bisa terdampar di Chicago maupun Las Vegas 4 tahun lalu itu. Tanpa sadar ia memegang kedua cewek itu dan menggenggamnya, seakan-akan menguatkan diri Sarah yang bingung dan lemah itu.
                “I don’t know. ” desah Sarah. “I asked my best friend’s grandma who also wearing this necklace, and she said she also have a weird real dream just like mine. She showed me a pocketwatch and it’s from London or something. But that’s what I know, because she also hid that thing from her family. ” keluh Sarah sambil memegang kalungnya.
                “And then?”
                “I don’t how could that be, how about the man who give her that pocketwatch, and I even don’t know what is this necklace called. I can’t tell it to my family or even my best friend.”
                Mata Sarah berkaca-kaca. Ia tahu. Tidak seharusnya ia memberitahukan ini juga kepada Brendon. Kenapa ia bisa sebego itu? Ah gak peduli. Kan dia juga yang tahu hal ini pertama kalinya selain dirinya sendiri.
                Tiba-tiba tangan Brendon mendekap pundak Sarah dan mengarahkannya ke pelukan Brendon. Entah kenapa Sarah merasa lebih hangat dan lebih ringan. Setidaknya beban telah terangkat sedikit. Mungkin itu yang ia butuhkan saat ini. Tanpa sadar, Sarah mengeluarkan isakan kecil.
                “Shh,” hibur Brendon. “Whatever you do, keep going on. I will help you whenever you need. And I’ll always be there. Now don’t worry.”
                Sarah hanya bisa diam. Dan terisak lagi. Rasanya ia tidak ingin melepas pelukannya dari Brendon. Ia butuh ini. Ia yakin dengan kata-kata cowok ini. Ia hanya ragu apakah ia akan merasakan janji itu.
                Setelah beberapa lama berpelukan, Sarah pun sadar. Ia harus tidur. Ia tidak ingin lagi pundak Brendon menjadi sangat basah karena air matanya.
                “Thanks Brendon. I think that’s all I need for now.”
                “I think I should let you sleep. You looked so tired.“
                Kenapa Brendon harus secepat itu perginya? Ia masih butuh vokalis itu.
                Sepertinya Brendon tahu maksud wajah Sarah.
                “Okay. I will let you asleep, then I will fly out. How was that sound?”
                Itu lebih baik. Sarah membuka selimutnya. Matanya terasa mulai berat. Dalam sekejap ia tidak lagi melihat Brendon, namun layar hitam gelap.
                Kali ini ia akan tidur lebih lelap. Tanpa ia sadari Brendon masih berada di sampingnya.
                Dan bibir Sarah tidak pernah menerima sentuhan selembut itu.

No comments:

Post a Comment