Title:Do You Like Jazz At All?
Author: Me
Characters: Sarah, Brendon, Ryan, Spencer, JonAuthor: Me
Rating: NC-17
Length: 1659 words
Summary: She have it again! And now, takes places in Chicago, Saturday Night, 2008, now you know what I mean.
Author's Note: The best moment ever, and the most cheezy fic i've ever write. pas buat chapter ini, memang pengen ngerasain banget gimana rasanya kita nonton dan masuk jadi cameo film ehehehe. i hope you guys enjoy it!
Don't you just still starving at them, do ya?
Ruangan ini terlalu dingin. Ia
tidak bisa berhenti menggigil. Berapa sih suhu di kamar ini hingga dia tidak
dapat merasakan tangannya sendiri? Walaupun selimutnya tebal, tetap saja. Ia
tidak pernah menyetel suhu AC kamarnya hingga sedingin ini. Apa bibi tadi pergi
ke kamar dan tidak sengaja menyetelnya hingga…
Tunggu.
Ia tidak pernah memiliki selimut
berwarna cokelat marun. Ia selalu mempunyai sprei berwarna cerah seperti biru,
pink, kuning, hitam, dan putih. Dan selimut ini terlalu tebal. Apa sekarang ia
sedang mimpi?
Ia segera bangkit dari tempat
tidurnya. Ini sama sekali bukan tipikal kamarnya. Ini seperti kamar hotel.
Bagaimana bisa ia terperangkap di sini? Apakah ada orang yang menculiknya? Atau
ini hanya mimpi semata seperti kemarin? Sarah mencoba mencubit lengannya.
Sakit. Berarti dia sedang di mimpi nyata. Lagi.
Sarah mencoba melihat
sekelilingnya. Kamar ini malah seperti gabungan hotel dan apartemen. Bercat
putih dan memiliki sofa dan meja. Di depan matanya terdapat LCD TV yang sedang
menayangkan ramalan cuaca. Ia mencoba bangkit dari tempat tidurnya. Di mana
remote AC ini?
Oh, di sana rupanya, gumam Sarah
saat ia melihat remote AC tergantung di samping tirai besar berwarna hijau tua.
Ia membuka tirai tersebut dengan tali besar berwarna emas, seperti tirai di
teater pada umumnya. Ketika dibuka, ia tidak mempercayai matanya sendiri.
Berbagai gedung pencakar langit
bertebaran di sekelilingnya. Seperti melihat kota besar melalui layar bioskop
yang nyata. Ia tidak pernah menghirup udara sesegar ini, meskipun bisa ini
adalah kota. Dia ingin meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah mimpi, namun
bukan. Puas dengan pemandangan yang menakjubkan itu, ia kembali ke dapur karena
perutnya sudah memanggil. Hm. Baru kali ini ia menemukan ada hotel yang
menyediakan fasilitas dapur di kamarnya.
Tanpa terasa, matahari telah
tenggelam untuk kesekian kalinya, dan Sarah telah menyelesaikan kepuasannya.
Makan, sudah. Mandi, sudah. Dan harus diakui, air di kamar hotel ini hangat
banget. Pakaian, sudah. Entah kenapa ketika ia membuka kloset ada banyak sekali
baju dirinya, seperti lemarinya pindah ke kamar ini. Tempat macam apa ini?
Ia kembali duduk di tempat
tidurnya, dan menyalakan televisi. Apakah ia sekarang adalah penghuni rahasia
hotel ini? Ah sudahlah. Lebih baik nikmati saja tempat ini. Kapan lagi bisa
melihat kamar special seperti sekarang? Sarah mengambil remote TV di atas meja
sebelahnya, sehingga ia tidak perlu melihatnya lagi. Namun..
“Kertas apaan ini?”
Tanpa sengaja Sarah memegang
kertas kecil berwarna putih. Ini… bukannya konser tiket? Isinya Live In
Congress Theater, Saturday, April 24th 2008, 8 PM, VIP seat A8, Panic!
At The Disco.
HAH!?
Suasana di Congress Theater
sangat ramai. Satu jam menuju konser Panic! At The Disco. Oh tidak, pikir
Sarah. Ini pasti akan menjadi sangat kacau. Konser ini akan direkam dan
difilmkan dan akan dibuat albumnya! Ia telah berulang kali menonton konser ini
sebelumnya di Home Theater Alice, tapi ia tidak pernah menyangka akan menjadi
salah satu bagian dari Live In Chicago!
Untung saja ia membawa uang yang
cukup banyak, tidak tahu darimana uang itu berasal, dan kunci kamar hotelnya.
Suite Home Chicago. Dekat, bangunannya mencakar langit, dan biayanya sangat
mahal. Mimpiku kali ini amat sangat aneh, batinnya.
Ia mengunjungi booth merchandise
Panic! At The Disco dan membeli hampir semua jenis merchandise itu.
Mudah-mudahan cukup dimasukkan ke dalam tasnya yang cukup besar hingga ada
orang yang mengira ia akan piknik dengan tas itu. Biarin. Kapan lagi dapat
memiliki limited edition merchandise ini? Dan setidaknya ia akan bertemu Panic!
At The Disco setelah konser usai dan memiliki sesuatu untuk ditanda tangani.
Astaga. Napasnya terlalu berat untuk dihirup.
Semua orang telah berteriak
“Panic!” kali ini. Sudah diduga. Sarah pun ikut menyumbang meneriakkan kata itu
juga. Tiba-tiba, di sisi kiri panggung, layar monitor menyala biru dengan
ornament balon udara dan bunga-bunga, dan muncul “Panic At The Disco” dengan
tulisan seperti di album Pretty. Odd. mereka. Tiba-tiba penonton di Congress
Theater semakin histeris teriakannya. Panggung berhiaskan bunga plastik, layar
monitor besar, dan karpet ini akan diguncang. Oh tidak. Ia tidak siap.
“Oh my gosh, that was the best
concert, eveeerrr‼”
“Yeah! Like I know that would be
a blast!”
“No way! Ryan is having a crush
on me! He always looked at me every second!”
Suara mencicit dari cewek-cewek
yang mengantri di booth tanda tangan semakin keras. Memang bener. Konser tadi,
that was the best concert ever. Cuman banyak banget orang yang memberontak ke
sana ke mari hingga sekuritinya harus kewalahan. Hem. Tidak Indonesia, Amerika
pun jadi. Bagaimanapun juga, penampilan mereka kali ini sangat luar biasa.
Apalagi tadi Brendon sempat menghancurkan gitar. Ah biasa. Orang kaya.
Sarah sengaja membiarkan
cewek-cewek ganas ini untuk mendapatkan gilirannya duluan dan menjadikannya
penutup antrian pada malam itu. Ia juga santai, paling tidak semua orang di
gedung ini mempunyai kesempatan. Ia juga telah lelah mendengarkan pekikan
fans-fans mereka yang sangat tidak manusiawi. Walaupun ia sendiri juga ngefans
sama Panic, tetapi tidak sebegitu gilanya sampai-sampai ada yang membawa
spanduk “Fuck Me”.
Setelah beberapa jam, yang Sarah
manfaatkan untuk melatih apa yang akan ia ucapkan pada mereka, gilirannyalah
yang tampil. Ketika ia muncul, tiba-tiba ruangan itu terasa sedikit tegang.
“I think I’ve been saw you
before.” ujar Ryan.
“Really?”sahut Jon.
“Yeah! Aren’t we, Spencer?”
“I’m not really sure.”
“Hey, are you..”
“Wait. Sarah, is that you?”
tanya Brendon.
Bagaimana bisa mereka
mengenalnya dengan secepat itu? Padahal mereka baru bertemu sekali, itupun 4
tahun yang lalu, menurut kalender mereka. Ryan, Spencer dan Brendon yang
tadinya lelah berubah cerah secepat kala. Hanya Jon yang tidak tahu apa-apa,
karena dia tidak pernah melihat Sarah seumur hidupnya.
“How did you recognize me that
fast?”
“Dude, you are mysterious. And
Brendon always told us about you after you left from Las Vegas, even he just me
you once!” jelas Spencer.
“Yeah, like we just want to get
it over, no offense.”tambah Ryan.
Brendon, yang disindir, malah
diam saja dan mukanya semakin memerah. Ada apa dengannya?
“Okay. I think I’m the only one
who don’t know where is this shit was all about. Anyone could help me?”
“So Brendon met this girl for
like 4 years ago in a park in Las Vegas, she said she’s from in the middle of
nowhere, and the next day..”
“Ry, stop. I think we should get
her something. Talk that later.” hindar Brendon.
“So, Sarah, what could we help
you right now?”
Yang ditanya hanya bisa terdiam,
lalu tertawa kecil.
“Maybe you guys can sign this
for me?” tanyanya sambil menyerahkan poster konser mereka.
Dengan cepat, mereka berempat
langsung mengambilnya dan memberi tanda tangan secara kilat.
“Now what else would you want?”
“How about we go hang some in
the café?”
“So, how are you? Still get that
over weird dream again?”
Yang ditanya malah hanya
tersenyum. Akhirnya, setelah menyingkirkan teman-temannya di kafe, Brendon
punya kesempatan bertemu dengan Sarah saat Brendon menawarkan dirinya untuk
mengantar Sarah ke hotelnya.
“How could I say? I’m a weird
woman.”
“No you’re not. You just a woman
trapped in a weird life. That’s all.”
“Oh, really? I’m not so sure
about that.”
“But at least I do.”
Sarah pun tertawa kembali. Tuhan
kenapa dia selalu menggombal? Apakah setiap cewek pernah dia gombalin? Namun
digombalin idola adalah impian semua orang. Jadi bisa dibilang Sarah termasuk
cewek yang beruntung. Tapi, yang namanya digombal pasti punya alas an tersendiri,
dong.
Sarah
membuka pintunya, melempar tasnya ke atas meja rias, dan berbaring di atas
tempat tidurnya, diikuti oleh Brendon yang langsung melompat ke sofa.
“Wow. You really are rich
person. Never know there is a kitchen in a hotel room.”
“I know, right? Like I’m having
a simple sleep then sudden magically I’m on here. What’s happening with me?”
suara Sarah sungguh tidak tenang.
“Slow down. What happened?”
Brendon segera bangkit dari sofa
dan duduk di samping Sarah. Ia tahu, Sarah pasti mengetahui sesuatu tentang
mimpi ini. Ia sendiri pun tidak terlalu mengerti bagaimana Sarah bisa terdampar
di Chicago maupun Las Vegas 4 tahun lalu itu. Tanpa sadar ia memegang kedua
cewek itu dan menggenggamnya, seakan-akan menguatkan diri Sarah yang bingung
dan lemah itu.
“I don’t know. ” desah Sarah. “I
asked my best friend’s grandma who also wearing this necklace, and she said she
also have a weird real dream just like mine. She showed me a pocketwatch and it’s
from London or something. But that’s what I know, because she also hid that
thing from her family. ” keluh Sarah sambil memegang kalungnya.
“And then?”
“I don’t how could that be, how
about the man who give her that pocketwatch, and I even don’t know what is this
necklace called. I can’t tell it to my family or even my best friend.”
Mata Sarah berkaca-kaca. Ia tahu.
Tidak seharusnya ia memberitahukan ini juga kepada Brendon. Kenapa ia bisa
sebego itu? Ah gak peduli. Kan dia juga yang tahu hal ini pertama kalinya
selain dirinya sendiri.
Tiba-tiba tangan Brendon mendekap
pundak Sarah dan mengarahkannya ke pelukan Brendon. Entah kenapa Sarah merasa
lebih hangat dan lebih ringan. Setidaknya beban telah terangkat sedikit. Mungkin
itu yang ia butuhkan saat ini. Tanpa sadar, Sarah mengeluarkan isakan kecil.
“Shh,” hibur Brendon. “Whatever
you do, keep going on. I will help you whenever you need. And I’ll always be
there. Now don’t worry.”
Sarah hanya bisa diam. Dan terisak
lagi. Rasanya ia tidak ingin melepas pelukannya dari Brendon. Ia butuh ini. Ia yakin
dengan kata-kata cowok ini. Ia hanya ragu apakah ia akan merasakan janji itu.
Setelah beberapa lama
berpelukan, Sarah pun sadar. Ia harus tidur. Ia tidak ingin lagi pundak Brendon
menjadi sangat basah karena air matanya.
“Thanks Brendon. I think that’s
all I need for now.”
“I think I should let you sleep.
You looked so tired.“
Kenapa Brendon harus secepat itu
perginya? Ia masih butuh vokalis itu.
Sepertinya Brendon tahu maksud
wajah Sarah.
“Okay. I will let you asleep,
then I will fly out. How was that sound?”
Itu lebih baik. Sarah membuka
selimutnya. Matanya terasa mulai berat. Dalam sekejap ia tidak lagi melihat
Brendon, namun layar hitam gelap.
Kali ini ia akan tidur lebih
lelap. Tanpa ia sadari Brendon masih berada di sampingnya.
Dan bibir Sarah tidak pernah
menerima sentuhan selembut itu.
No comments:
Post a Comment