haha enough chat. summary: this is about the next day of a Keri's in Jakarta, and she was sick. wow. in just 1 line. but yeaaah, it's all about it. but i promise you the story will not as short as the summary. so, happy reading and review please! i love cole sprouse. (copied from alienowood, no offense for her).
xo,
Chapter 5 – Cool Day
Keri’s POV
Sungguh.
Aku sangat lelah gara-gara kemarin. Kepalaku seperti ditimpa drum, dan badanku
telah melakukan perjalanan jauh. Perutku terasa dipilin. Benar-benar kondisi
yang tidak nyaman. Aku memaksa tubuhku ke kamar mandi. Memang, aku telah
terbiasa untuk langsung ke kamar mandi setiap kali aku membuka mataku setiap
pagi. Entah kenapa aku merasa janggal jika kebiasaanku itu tidak kulakukan.
Kulihat
mukaku di depan kaca, layaknya anak dekil yang tidak pernah diurus! Kotor dan
acak-acakan. Aku tidak suka pemandangan ini. Namun, aku juga tidak mempunyai
niat untuk mandi. Akhirnya aku cukup menyisir rambutku, menggosok gigi, dan
mencuci muka.
Setelah
sedikit membereskan diri, aku kembali ke kamar dan menghidupkan televisi.
Tetapi lama-kelamaan aku merasa semakin tidak enak badan. Tubuhku meriang. Dan
kakiku semakin lemah untuk menopang tubuhku.
Tiba-tiba,
bel di dekat pintu berbunyi. Siapa yang membunyikan bel sialan itu di saat
orang baru mengumpulkan kesadaran di pagi yang gelap ini? Aku berusaha sekuat
tenaga untuk berjalan. Aku bahkan hamper tidak kuat untuk mengangkat kakiku! Kepalaku
semakin berat dan mataku berkunang. Ya Allah, mudah-mudahan aku masih bisa
bertahan.
Saat kubuka
pintunya, ternyata itu Brendon. Idola sialku. Kenapa dia mau bertemu denganku
lagi? Ada apa dengannya? Padahal aku telah memukulnya dua kali. Aku ingin
menghabisinya sekarang juga, hanya saja kondisiku tidak memungkinkan. Hei,
kenapa dia membawa bubur dan teh ke sini?
“hello. I
brought you some food, if you let me to having a breakfast with you. Can I come
in?”
“yeah.
Sure. Come.” Suaraku hampir tidak kedengaran.
Aku
membiarkannya masuk. Oke. Sebenarnya aku sedang tidak menginginkan perang saat
ini. Tetapi sesuatu yang buruk semakin memberontak terhadap tubuhku. Aku
semakin tidak kuat untuk berjalan. Hampir saja aku tertabrak oleh kursi, jika
aku tidak dapat menahan diri beberapa detik lagi.
“Keri, are
you OK?” Tanya Brendon sambil meletakkan makanan yang ia bawa di atas meja
dengan segera. Sepertinya dia khawatir padaku.
“I’m fine,
why?” Bohong.
“I think
that’s not fine. Your face looks pale.”
“I’m fine!
Really!” bentakku. Bohong lagi.
Di depan
mataku terdapat tempat tidurku. Aku segera duduk di atasnya, dan seketika
sekelilingku menjadi hitam.
Brendon’s POV
Tidak
kusangka. I woke up at five AM today. Totally weird, but who cares? Yesterday
was so weird enough. Kemarin aku bertemu dengan gadis yang super cantik dan
super aneh. Tetapi aku masih dapat merasakan sakit yang sangat, setelah dia
memukul pinggangku dengan sangat kuat. I wonder where the is she got that
strength enough until I can’t feel my ribs. But yeah, I deserve it so much.
Aku
merasakan badanku terasa begitu segar, walaupun aku hanya tidur selama dua jam.
Pikiranku selalu melayang dengan kejadian kemarin. Diulang dan diulang
terus-menerus seperti rekaman. Weird.
Aku
bangkit, dan melihat kaset Guitar Hero yang dia berikan padaku semalam. I love
Guitar Hero, and she gave me my favorite. Is she a freaky fan or something?
Nah, I don’t think so. Jika itu benar, harusnya dia telah berteriak-teriak,
lalu menarikku dan menempel terus ke arahku, atau langsung menciumku seperti
fans biadab lainnya. Namun dia sangat jauh dari tipe fans seperti itu. Bahkan
dia memukul idolanya sendiri! Ah sudahlah. Lupakan itu.
Hari ini
aku ingin mengelilingi Jakarta. Tapi bukan dengan Spencer, si shopaholic, Ian,
yang paling mencari board games, Dallon, yang aku yakin hampir setiap
perjalanan dia akan menceritakan istrinya Breezy, ataupun Zack, yang sebenarnya
aku sedikit bosan karena selama tour hanya dialah yang aku ajak setiap kali
jalan-jalan. Aku ingin mengenal lebih banyak tentang Jakarta. Lebih baik aku
mengajak Keri. Aku harap dia mau.
Aku
bergegas mandi dan bersiap-siap untuk pergi. Aku rasa tidak perlu memakai pakaian
yang aneh. Cukup T-Shirt biasa, celana jeans, dan Converse. Time is still six
AM. Maybe she still asleep. Lagipula, terakhir aku lihat mukanya semalam
seperti agak pucat. Let her get the rest for a while.
Time’s
going so fast. It’s already seven thirty AM. Aku menghabiskan tiga puluh menit
untuk memainkan Guitar Hero. Yeah, I can pass all the kinds of games in Guitar
Hero less than an hour, and the game’s so easy. Setelah puas menamatkannya, aku
membuka pintu kamarku. Kosong. Tidak ada gerakan apa pun di koridor. Pintu
dengan angka empat dua lima itu masih terkunci. Apa sekarang dia sedang sakit?
Atas dasar
insiatif dan kekhawatiran akan kondisi gadis ini, aku mengambil telepon di atas
meja, menghubungi bagian restoran, ordering some breakfast for her, than hang
off the phone. I hope she’s all right.
Cukup lama
menunggu, and it feels like almost forever, sarapan pun tiba. Di tadah itu,
terisi dua mangkuk bubur dan dua gelas hot lemon tea. Rencananya aku ingin
sarapan dengan Keri dan meminta maaf padanya. Serta ingin mengenalnya lebih
jauh lagi. Aku menekan bel di samping pintunya. Mudah-mudahan dia telah bangun.
Ternyata
benar dugaanku. Dia telah sadar. Dia berpenampilan rapi, cukup rapi. Namun ada
sesuatu yang janggal padanya. Mukanya terlihat sangat pucat, lebih pucat
dibandingkan dengan tadi malam. waktu yang sangat cocok untuk makan.
“hello, I
brought you some breakfast. Can I come in?”
Dia
mengernyit untuk sesaat. Mungkin karena dia masih kesal dengan kejadian tadi
malam, atau karena matahari telah bersinar begitu terang, aku tidak tahu. Tapi
aku rasa aku rasa kedua opini tersebut bukan alas an sebenarnya. Aku merasakan
sesuatu yang lebih aneh lagi.
“yeah.
Sure. come”
Tiga kata
singkat dengan suara serak yang luar biasa, dan berbeda daripada kemarin. She
must be sick. Lihat saja cara dia berjalan. Tidak seimbang dan sempoyongan,
hingga hampir menabrak kursi. Dia seperti mengangkat beban berat yang tidak
dapat dilihat.
“keri, are
you OK?” tanyaku. Definitely she’s not.
“I’m fine.
Why?”
Aku
meletakkan sarapan yang kubawa dan berusaha menolongnya.
“I think
that’s not OK. Your face looks peal,”
“I’m fine!
Really!” sergahnya dengan suaranya yang semakin serak.
Suddenly,
the unfortunate things happen. Dia berjalan ke tempat tidurnya dan pingsan! Aku
langsung membantunya, memeriksa keningnya. Sangat panas. Sepertinya dia demam.
Aku membaringkannya, dan menyelimutinya dengan tenang. Lalu aku mengambil
thermometer di kamarku dan kembali memeriksanya. Forty degrees. Sangat tinggi.
Aku
mengambil telepon di kamarnya dan menghubungi pegawai hotel lagi agar membawa
es dan kain basah. Totally awkward, but this is urgent and I can’t think any
clear anymore. Sambil menunggu room service dating membawa es, aku memegang
tangannya yang beku, berlawanan dengan suhu tubuhnya yang panas. Sungguh. Ini
ialah saat yang mengkhawatirkan. Aku harap dia baik-baik saja. Jangan sampai
dia terkena hal yang lebih parah lagi.
Keri’s POV
Aku bangun. Lagi. Apa yang sedang terjadi? Aku sedang berada di mana
saat ini? Kenapa aku seperti terserang amnesia? Aku melihat dengan perlahan ke
arah jam dinding. Pukul dua siang. Apa aku tertidur kembali selama tujuh jam?
Aku berusaha mengumpulkan jiwaku dan memoriku.
Tadi pagi aku bangun pagi, beres-beres, dan bertemu Brendon. Lalu aku
kembali ke tempat tidur dan tiba-tiba sekelilingku menjadi gelap. Kalau begitu,
seharusnya aku terlihat lebih miserable. Kenapa di atas kepalaku ada bantal dan
aku diselimuti? Di sampingku ada bubur yang kelihatannya sudah dingin, serta es
lemon tea yang berair karena kondensasi. Aku baru sadar kalau tanganku
digenggam seseorang. Ketika kugerakkan tanganku, rupanya dia lagi. Brendon.
Kenapa dia belum pulang juga?
Dia terlihat sangat.. damai. Manis sekali dengan mukanya yang seperti anak berumur tiga tahun. Yang berbeda
hanyalah tangannya yang memegang tanganku. Tiba – tiba mukaku terasa panas.
Tidak biasanya ada orang yang berkorban seperti ini padaku, kecuali orang tuaku
tentunya. Lagi pula, he’s a super star. And I’m just a little star. Aku tidak
dapat berbuat apa – apa selain melihatnya dalam diam.
Akhirnya dia bangun. Dia terlihat capek, apa dia terlalu
mengkhawatirkanku? Dia menguap, dan terkejut melihatku yang telah bangun
duluan.
“are you okay, Keri?”
“yeah, never better than this.”
“thank God for that.”
Kami kembali membiarkan diam menguasai kamarku. Aku tidak tahu apa yang
harus kukatakan sekarang!
“um, Brendon.. ” kataku pelan. Sangat grogi. “thank you so much for all
of this. I think, without you, maybe I will get worse than now. ”
“hey, it’s totally fine with me. Besides, you look pale since last
night. So, I know that this will be happened. ”
“haha..” tawaku hambar. “I was so looked like zombie, wasn’t i?”
“yeah, but it’s better than you are a real zombie.”
Aku tidak dapat menahan ketawaku lagi. Ternyata apa yang telah kuketahui
selama ini benar juga. Brendon sangat mudah memutarbalikkan keadaan menjadi
lebih baik.
“oh, yeah, I’ve already prepared some porridge and lemon tea. But it was
left for a few hours, so..”
“that’s okay. Would you take me the lemon tea? I’m so thirsty.”
“okay, right.” Sahut Brendon sambil memberikan teh kepadaku. Aku
menyisipnya sedikit. Esnya sudah mencair semua. Mungkin telah terlalu lama
dibiarkan. Aku tidak sadar bahwa aku diperhatikan oleh Brendon sedari tadi.
“what are you looking for?” tanyaku bingung. Entah kenapa, mukanya
berubah menjadi merah.
“no, just can’t believe that I’m taking care of a girl who hits me so
hard. I should get the attention from the first time!”
“what?” kataku hampir tersedak. “well, just ask yourself about it. You
were the one who following me in the toy store, you were the one who taking the
Guitar Hero from me, you were the one who kidnapping me and my purse. ”
“I guess it’s fair enough.” Ujarnya tertawa. Astaga, aku terpana
melihatnya. Dia terlihat sangat menawan.
Tidak terasa, kami menghabiskan waktu sejam hanya untuk mengobrol. Aku
melihat jam, pukul tiga. Pantas saja perutku bergejolak.
“I’m hungry” kataku datar. Aku mulai merasa Brendon seperti sahabatku
sendiri. Entah kenapa.
“well, you wanna eat this porridge?”
“no way,” aku mengelak. Aku memang tidak suka bubur. “I hate porridge.”
“okay, so what do you want to eat?”
“wanna go outside and search for local food? Indonesian foods are really
good, you know,”
“that’s fine with me, but how about you? You still sick, don’t you?”
“I’m fine, really I am” yakinku padanya. Kapan lagi bisa mengajak
Brendon Urie ke restoran lokal kalau bukan sekarang?
Dia berpikir sejenak. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Apa dia
tidak suka dengan masakan Indonesia?
“you don’t like Indonesian food? That’s fine, I’ll take you to another
restaurant”
“not that,” sergah Brendon. “I just worried about you.”
Apa telingaku yang salah atau Brendon benar benar khawatir tentang kesehatanku?
Ini sangat berada di luar akal sehat! Atau mungkinkah aku berada di dalam alam
mimpi? Siapapun, cubit aku sehingga aku bisa terbangun dari mimpi indah yang
buruk ini.
“I’ll be fine, Brendon. So, will you wait me for a sec? wanna take some
shower, I’m so smelly.”
“you are.” Candanya sambil tertawa. “I’ll be waiting in the waiting room
downstairs.”
Aku tertawa dan mendorongnya keluar pintu. Dan sekarang aku bingung. Apa
yang akan kukenakan nanti?
Aku cepat-cepat pergi ke kamar mandi dan melakukan rutinitasku yang
tertunda. Dapat dibilang, itu ialah mandi yang tercepat yang pernah aku lakukan
seumur hidupku‼ semuanya telah beres, kecuali apa yang akan kupakai untuk makan bersama
Brendon Urie. Casual, feminim, boyish, girly, bling bling? Long dress, T-shirt,
mini dress? Jins, rok, atau celana pendek? Aduh, kenapa hidup aku rasanya lebih
ribet daripada kuantum fisika?
Lebih baik aku cepat cepat daripada nanti ditinggal oleh Brendon. Aku
segera mengambil apa saja yang berada di dalam koper, mengeringkan rambutku,
dan memoles mukaku dengan sedikit make up. Lebih natural lebih baik. Tak lupa
tasku serta kalung Panic yang kubeli di Internet.
Setelah semuanya beres, aku menutup pintu kamar hotelku, dan jalan
menuju ruang tunggu di bawah. Mudah mudahan aku tidak terlihat bodoh di
depannya.
No comments:
Post a Comment