Friday, July 8, 2011

Starstruck in The Awkward Way (Chapter 5 - Cool Day)

Greetings guys. happy 7th of July, guys! oh yeah, some reminder. yesterday, 6th July, is the WORST Panic! At The Disco day i've ever had (don't ask or tell me, ask others sheeesh), and all of twitter and tumblr and even facebook celebrate it. Even Ryan Ross and Brendon Urie celebrate it by not tweeting in that day. (well, actually they tweet in random days, and when i say random it means not everyday).

haha enough chat. summary: this is about the next day of a Keri's in Jakarta, and she was sick. wow. in just 1 line. but yeaaah, it's all about it. but i promise you the story will not as short as the summary. so, happy reading and review please! i love cole sprouse. (copied from alienowood, no offense for her).


xo,








Chapter 5 – Cool Day
Keri’s POV
Sungguh. Aku sangat lelah gara-gara kemarin. Kepalaku seperti ditimpa drum, dan badanku telah melakukan perjalanan jauh. Perutku terasa dipilin. Benar-benar kondisi yang tidak nyaman. Aku memaksa tubuhku ke kamar mandi. Memang, aku telah terbiasa untuk langsung ke kamar mandi setiap kali aku membuka mataku setiap pagi. Entah kenapa aku merasa janggal jika kebiasaanku itu tidak kulakukan.
Kulihat mukaku di depan kaca, layaknya anak dekil yang tidak pernah diurus! Kotor dan acak-acakan. Aku tidak suka pemandangan ini. Namun, aku juga tidak mempunyai niat untuk mandi. Akhirnya aku cukup menyisir rambutku, menggosok gigi, dan mencuci muka.
Setelah sedikit membereskan diri, aku kembali ke kamar dan menghidupkan televisi. Tetapi lama-kelamaan aku merasa semakin tidak enak badan. Tubuhku meriang. Dan kakiku semakin lemah untuk menopang tubuhku.
Tiba-tiba, bel di dekat pintu berbunyi. Siapa yang membunyikan bel sialan itu di saat orang baru mengumpulkan kesadaran di pagi yang gelap ini? Aku berusaha sekuat tenaga untuk berjalan. Aku bahkan hamper tidak kuat untuk mengangkat kakiku! Kepalaku semakin berat dan mataku berkunang. Ya Allah, mudah-mudahan aku masih bisa bertahan.
Saat kubuka pintunya, ternyata itu Brendon. Idola sialku. Kenapa dia mau bertemu denganku lagi? Ada apa dengannya? Padahal aku telah memukulnya dua kali. Aku ingin menghabisinya sekarang juga, hanya saja kondisiku tidak memungkinkan. Hei, kenapa dia membawa bubur dan teh ke sini?
“hello. I brought you some food, if you let me to having a breakfast with you. Can I come in?”
“yeah. Sure. Come.” Suaraku hampir tidak kedengaran.
Aku membiarkannya masuk. Oke. Sebenarnya aku sedang tidak menginginkan perang saat ini. Tetapi sesuatu yang buruk semakin memberontak terhadap tubuhku. Aku semakin tidak kuat untuk berjalan. Hampir saja aku tertabrak oleh kursi, jika aku tidak dapat menahan diri beberapa detik lagi.
“Keri, are you OK?” Tanya Brendon sambil meletakkan makanan yang ia bawa di atas meja dengan segera. Sepertinya dia khawatir padaku.
“I’m fine, why?” Bohong.
“I think that’s not fine. Your face looks pale.”
“I’m fine! Really!” bentakku. Bohong lagi.
Di depan mataku terdapat tempat tidurku. Aku segera duduk di atasnya, dan seketika sekelilingku menjadi hitam.

Brendon’s POV
Tidak kusangka. I woke up at five AM today. Totally weird, but who cares? Yesterday was so weird enough. Kemarin aku bertemu dengan gadis yang super cantik dan super aneh. Tetapi aku masih dapat merasakan sakit yang sangat, setelah dia memukul pinggangku dengan sangat kuat. I wonder where the is she got that strength enough until I can’t feel my ribs. But yeah, I deserve it so much.
Aku merasakan badanku terasa begitu segar, walaupun aku hanya tidur selama dua jam. Pikiranku selalu melayang dengan kejadian kemarin. Diulang dan diulang terus-menerus seperti rekaman. Weird.
Aku bangkit, dan melihat kaset Guitar Hero yang dia berikan padaku semalam. I love Guitar Hero, and she gave me my favorite. Is she a freaky fan or something? Nah, I don’t think so. Jika itu benar, harusnya dia telah berteriak-teriak, lalu menarikku dan menempel terus ke arahku, atau langsung menciumku seperti fans biadab lainnya. Namun dia sangat jauh dari tipe fans seperti itu. Bahkan dia memukul idolanya sendiri! Ah sudahlah. Lupakan itu.
Hari ini aku ingin mengelilingi Jakarta. Tapi bukan dengan Spencer, si shopaholic, Ian, yang paling mencari board games, Dallon, yang aku yakin hampir setiap perjalanan dia akan menceritakan istrinya Breezy, ataupun Zack, yang sebenarnya aku sedikit bosan karena selama tour hanya dialah yang aku ajak setiap kali jalan-jalan. Aku ingin mengenal lebih banyak tentang Jakarta. Lebih baik aku mengajak Keri. Aku harap dia mau.
Aku bergegas mandi dan bersiap-siap untuk pergi. Aku rasa tidak perlu memakai pakaian yang aneh. Cukup T-Shirt biasa, celana jeans, dan Converse. Time is still six AM. Maybe she still asleep. Lagipula, terakhir aku lihat mukanya semalam seperti agak pucat. Let her get the rest for a while.
Time’s going so fast. It’s already seven thirty AM. Aku menghabiskan tiga puluh menit untuk memainkan Guitar Hero. Yeah, I can pass all the kinds of games in Guitar Hero less than an hour, and the game’s so easy. Setelah puas menamatkannya, aku membuka pintu kamarku. Kosong. Tidak ada gerakan apa pun di koridor. Pintu dengan angka empat dua lima itu masih terkunci. Apa sekarang dia sedang sakit?
Atas dasar insiatif dan kekhawatiran akan kondisi gadis ini, aku mengambil telepon di atas meja, menghubungi bagian restoran, ordering some breakfast for her, than hang off the phone. I hope she’s all right.
Cukup lama menunggu, and it feels like almost forever, sarapan pun tiba. Di tadah itu, terisi dua mangkuk bubur dan dua gelas hot lemon tea. Rencananya aku ingin sarapan dengan Keri dan meminta maaf padanya. Serta ingin mengenalnya lebih jauh lagi. Aku menekan bel di samping pintunya. Mudah-mudahan dia telah bangun.
Ternyata benar dugaanku. Dia telah sadar. Dia berpenampilan rapi, cukup rapi. Namun ada sesuatu yang janggal padanya. Mukanya terlihat sangat pucat, lebih pucat dibandingkan dengan tadi malam. waktu yang sangat cocok untuk makan.
“hello, I brought you some breakfast. Can I come in?”
Dia mengernyit untuk sesaat. Mungkin karena dia masih kesal dengan kejadian tadi malam, atau karena matahari telah bersinar begitu terang, aku tidak tahu. Tapi aku rasa aku rasa kedua opini tersebut bukan alas an sebenarnya. Aku merasakan sesuatu yang lebih aneh lagi.
“yeah. Sure. come”
Tiga kata singkat dengan suara serak yang luar biasa, dan berbeda daripada kemarin. She must be sick. Lihat saja cara dia berjalan. Tidak seimbang dan sempoyongan, hingga hampir menabrak kursi. Dia seperti mengangkat beban berat yang tidak dapat dilihat.
“keri, are you OK?” tanyaku. Definitely she’s not.
“I’m fine. Why?”
Aku meletakkan sarapan yang kubawa dan berusaha menolongnya.
“I think that’s not OK. Your face looks peal,”
“I’m fine! Really!” sergahnya dengan suaranya yang semakin serak.
Suddenly, the unfortunate things happen. Dia berjalan ke tempat tidurnya dan pingsan! Aku langsung membantunya, memeriksa keningnya. Sangat panas. Sepertinya dia demam. Aku membaringkannya, dan menyelimutinya dengan tenang. Lalu aku mengambil thermometer di kamarku dan kembali memeriksanya. Forty degrees. Sangat tinggi.
Aku mengambil telepon di kamarnya dan menghubungi pegawai hotel lagi agar membawa es dan kain basah. Totally awkward, but this is urgent and I can’t think any clear anymore. Sambil menunggu room service dating membawa es, aku memegang tangannya yang beku, berlawanan dengan suhu tubuhnya yang panas. Sungguh. Ini ialah saat yang mengkhawatirkan. Aku harap dia baik-baik saja. Jangan sampai dia terkena hal yang lebih parah lagi.

Keri’s POV
Aku bangun. Lagi. Apa yang sedang terjadi? Aku sedang berada di mana saat ini? Kenapa aku seperti terserang amnesia? Aku melihat dengan perlahan ke arah jam dinding. Pukul dua siang. Apa aku tertidur kembali selama tujuh jam? Aku berusaha mengumpulkan jiwaku dan memoriku.
Tadi pagi aku bangun pagi, beres-beres, dan bertemu Brendon. Lalu aku kembali ke tempat tidur dan tiba-tiba sekelilingku menjadi gelap. Kalau begitu, seharusnya aku terlihat lebih miserable. Kenapa di atas kepalaku ada bantal dan aku diselimuti? Di sampingku ada bubur yang kelihatannya sudah dingin, serta es lemon tea yang berair karena kondensasi. Aku baru sadar kalau tanganku digenggam seseorang. Ketika kugerakkan tanganku, rupanya dia lagi. Brendon. Kenapa dia belum pulang juga?
Dia terlihat sangat.. damai. Manis sekali dengan mukanya yang  seperti anak berumur tiga tahun. Yang berbeda hanyalah tangannya yang memegang tanganku. Tiba – tiba mukaku terasa panas. Tidak biasanya ada orang yang berkorban seperti ini padaku, kecuali orang tuaku tentunya. Lagi pula, he’s a super star. And I’m just a little star. Aku tidak dapat berbuat apa – apa selain melihatnya dalam diam.
Akhirnya dia bangun. Dia terlihat capek, apa dia terlalu mengkhawatirkanku? Dia menguap, dan terkejut melihatku yang telah bangun duluan.
“are you okay, Keri?”
“yeah, never better than this.”
“thank God for that.”
Kami kembali membiarkan diam menguasai kamarku. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan sekarang!
“um, Brendon.. ” kataku pelan. Sangat grogi. “thank you so much for all of this. I think, without you, maybe I will get worse than now. ”
“hey, it’s totally fine with me. Besides, you look pale since last night. So, I know that this will be happened. ”
“haha..” tawaku hambar. “I was so looked like zombie, wasn’t i?”
“yeah, but it’s better than you are a real zombie.”
Aku tidak dapat menahan ketawaku lagi. Ternyata apa yang telah kuketahui selama ini benar juga. Brendon sangat mudah memutarbalikkan keadaan menjadi lebih baik.
“oh, yeah, I’ve already prepared some porridge and lemon tea. But it was left for a few hours, so..”
“that’s okay. Would you take me the lemon tea? I’m so thirsty.”
“okay, right.” Sahut Brendon sambil memberikan teh kepadaku. Aku menyisipnya sedikit. Esnya sudah mencair semua. Mungkin telah terlalu lama dibiarkan. Aku tidak sadar bahwa aku diperhatikan oleh Brendon sedari tadi.
“what are you looking for?” tanyaku bingung. Entah kenapa, mukanya berubah menjadi merah.
“no, just can’t believe that I’m taking care of a girl who hits me so hard. I should get the attention from the first time!”
“what?” kataku hampir tersedak. “well, just ask yourself about it. You were the one who following me in the toy store, you were the one who taking the Guitar Hero from me, you were the one who kidnapping me and my purse. ”
“I guess it’s fair enough.” Ujarnya tertawa. Astaga, aku terpana melihatnya. Dia terlihat sangat menawan.
Tidak terasa, kami menghabiskan waktu sejam hanya untuk mengobrol. Aku melihat jam, pukul tiga. Pantas saja perutku bergejolak.
“I’m hungry” kataku datar. Aku mulai merasa Brendon seperti sahabatku sendiri. Entah kenapa.
“well, you wanna eat this porridge?”
“no way,” aku mengelak. Aku memang tidak suka bubur. “I hate porridge.”
“okay, so what do you want to eat?”
“wanna go outside and search for local food? Indonesian foods are really good, you know,”
“that’s fine with me, but how about you? You still sick, don’t you?”
“I’m fine, really I am” yakinku padanya. Kapan lagi bisa mengajak Brendon Urie ke restoran lokal kalau bukan sekarang?
Dia berpikir sejenak. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Apa dia tidak suka dengan masakan Indonesia?
“you don’t like Indonesian food? That’s fine, I’ll take you to another restaurant”
“not that,” sergah Brendon. “I just worried about you.”
Apa telingaku yang salah atau Brendon benar benar khawatir tentang kesehatanku? Ini sangat berada di luar akal sehat! Atau mungkinkah aku berada di dalam alam mimpi? Siapapun, cubit aku sehingga aku bisa terbangun dari mimpi indah yang buruk ini.
“I’ll be fine, Brendon. So, will you wait me for a sec? wanna take some shower, I’m so smelly.”
“you are.” Candanya sambil tertawa. “I’ll be waiting in the waiting room downstairs.”
Aku tertawa dan mendorongnya keluar pintu. Dan sekarang aku bingung. Apa yang akan kukenakan nanti?
Aku cepat-cepat pergi ke kamar mandi dan melakukan rutinitasku yang tertunda. Dapat dibilang, itu ialah mandi yang tercepat yang pernah aku lakukan seumur hidupku semuanya telah beres, kecuali apa yang akan kupakai untuk makan bersama Brendon Urie. Casual, feminim, boyish, girly, bling bling? Long dress, T-shirt, mini dress? Jins, rok, atau celana pendek? Aduh, kenapa hidup aku rasanya lebih ribet daripada kuantum fisika?
Lebih baik aku cepat cepat daripada nanti ditinggal oleh Brendon. Aku segera mengambil apa saja yang berada di dalam koper, mengeringkan rambutku, dan memoles mukaku dengan sedikit make up. Lebih natural lebih baik. Tak lupa tasku serta kalung Panic yang kubeli di Internet.
Setelah semuanya beres, aku menutup pintu kamar hotelku, dan jalan menuju ruang tunggu di bawah. Mudah mudahan aku tidak terlihat bodoh di depannya.

No comments:

Post a Comment