Thursday, June 30, 2011

Starstruck in The Awkward Way (Chapter 4 - Starstruck)

HELOOOOOOO! sorry sorry sorry sorry sorrryyyyyy :'( i'm soooo sorry because i'm a no-good-at-all writer! now it's a month and i just finishing 1 chapter?! NO WAY! but i promise to ya, i will not take this stupid long time EVER AGAIN.

so, a little summary. it's about Keri founding out that the glassy odd guy is someone who changes her life. if you wanna to find out, click here! ;) happy reading, i'm soooo sorry for my late, and keep reviewing :)))))


 Regards,











Chapter 4 – Starstruck
Keri’s POV
Aku membuka kacamata yang dipakai manusia yang tidak punya akal dan hati ini, dan sekarang aku menyesal. Dia ialah Brendon Boyd Urie yang selalu aku idolakan! Aku tidak percaya aku telah bertemu dengan vokalis Panic At The Disco, di tengah malam bersama om Adrie Subono, dan dengan sangat lancang aku merebut kacamatanya. Aku tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Apakah aku berteriak seperti fans-fans lainnya? Atau aku harus pura-pura tidak mengetahui kejadian apapun? Ah, sungguh bodoh aku ini.
Mata cokelatnya yang mencair seperti kopi, raut wajah yang ekspresif, dan senyum lebarnya hampir membuatku berteriak. Namun aku harus tahu diri. Di saat aku ingin mengembalikan sikapku, dia malah tersenyum melihatku, dan kedua ujung bibirnya melengkung indah. Oh, Tuhan, aku tidak tahan melihat senyum orang ini!
Sempurna. Sekarang tubuhku mulai mengeluarkan reaksinya. Tanganku membeku, dadaku sesak, perutku mual, kakiku bergetaran, dan bibirku terasa kering. Sepertinya tubuhku mulai bereaksi lebih parah lagi, jika Brendon Urie tidak melihatku terang-terangan! Apakah dia tidak sadar aku telah menyukainya semenjak tiga tahun lalu, ketika dia masih berumur sepertiku dan baru mengeluarkan album A Fever You Can’t Sweat Out? Apakah ada sesuatu di wajahku?
Aku menyentuh mukaku, kuharap aku tidak berbuat lebih konyol lagi dengan tindak-tandukku yang kagok ini. Tiba-tiba, Brendon memegang tanganku!
“Well, shucks, you don’t have anything on your face, except gorgeous.”
Apa aku salah mendengarnya? Apakah telingaku sedang rusak? Seorang bintang internasional memegang tanganku dan berkata bahwa aku cantik? Mudah-mudahan aku salah. Aku membenamkan wajahku sedalam-dalamnya agar dia tidak melihatku yang sakit. Sakit karena berada di alam mimpi yang nyata.
Tapi sungguh sial. Benar-benar di luar dugaan. Brendon malah semakin mendekatiku. Aku tak tahu apa lagi yang akan terjadi. Jaraknya tinggal beberapa senti dariku. Semoga aku tidak berbuat sesuatu bodoh.
“Well, hello there.” Sapanya dengan senyum yang membuat setiap wanita terbuai.
Aku hanya menatapnya tanpa membalasnya.
“Hei, I’m Brendon. Sorry to not introducing myself when we met in the toystore. So, what’s your name?” senyumnya lebar. Dia seperti anak kecil. Ya, itulah Brendon. Sosok jiwa anak kecil yang terperangkap dalam tubuh seorang musisi yang berbakat juga rupawan.
Ah, senyum itu lagi. Senyum yang biasanya hanya dilihat dari Youtube, majalah, foto, dan televisi, sekarang dapat dilihat secara live dan eksklusif hanya untukku. Apakah ini yang namanya kesempatan?
“Come on now. Don’t be shy. I’m not gonna hurt you.” Senyumnya lagi.
“I… um…”
“let me know your name so I can call you easily. Call you ‘Miss’ makes me so awkward.”
“okay,” aku berdeham. Tenggorokanku semakin gatal. “Keri.”
“Keri. Wow. Cute name. ”
Aku tidak dapat menolong diriku untuk tidak memerahkan mukaku. Dia selalu senyum melihatku. Apakah aku terlihat seperti orang aneh?
“Hey Brendon, you don’t introduce her to us! How could you!”
Tunggu sebentar. Suara itu terdengar familiar. Datangnya dari orang yang duduk di depanku, namun bukan Om Adrie. Siapa dia?
“Come on, Spence. You already have one.”
“You just don’t know how to thank to one who help you, do you?”
Spence? Perasaan aku pernah mendengar namanya, tapi kapan? Ayolah Keri, pikir. Sial, gara-gara Brendon aku tidak dapat berpikir jernih lagi. Lagipula, apa maksud mereka? Apa yang sedang mereka bicarakan?
“Alright! Now. Keri, this is...”
“Spencer. Nice to meet you, girl.” Ujar ‘Spence’ yang langsung loncat menghadapku.
Ya ampun! Dia adalah Spencer James Smith, drummer Panic! Kenapa aku terkena demam starstruck? Setelah Adrie Subono, Brendon Urie, dan sekarang Spencer Smith. Apa yang sedang terjadi denganku, Tuhan?
“N..Nice to meet you too.” Aku baru sadar kalau aku mengatakannya dengan satu napas. Biarkan saja dia tidak mengerti. Aku tidak dapat mengatakannya sekali lagi.
“Nah, Keri, kamu tinggal di sini?” Tanya Om Adrie.
“Enggak om. Saya dari Batam,”
“Batam? Kok jauh banget? Untuk apa ke Jakarta?”
“Se..sebenarnya.. saya Cuma ingin nonton Panic At The Disco saja, Om.”
“Well, well, guys, don’t you just heard? She came to this city, alone, just to watch you guys!” seru Om Adrie kepada dua makhluk yang luar biasa penasaran dengan apa yang baru kami bicarakan.
“Really? Wow! That’s really great!” jawab Brendon semangat.
“Yeah! You rule!” timpal Spencer.
“Th..thanks?”
“No, you shouldn’t be.” Canda Spencer, lagi.
Aku tidak sadar aku telah tertawa.

Brendon’s POV
Dia tertawa! Aku tidak menyangka dia akhirnya dapat tertawa bersama kami! It’s really hard to get her attention. Aku teringat ketika dia marah padaku pada saat kami berada di Toys ‘R’ Us tadi, dan tiba-tiba mukanya pucat saat dia bertemu lagi denganku, dan mengetahui siapa aku sebenarnya. I knew it! She adores me!
Aku berusaha untuk mengetahui siapa Keri di balik wajah cantiknya, rambut hitam panjang sebahunya, bibirnya yang mungil, mata cokelatnya yang bersinar, dan topi manis yang terpajang di atas kepalanya yang membuat gadis ini lebih manis daripada Sarah.
Sayang, aku hanya dapat melihat Keri mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil seperti anak kecil mengemut permen, which is the another reason why I like her so much, jika berbicara dengan Spencer dan Adrie. Why do you can’t smile at me? I’m the one who need your smile first!
Ketika aku ingin mendekatinya, dia malah menjauh dan member jarak yang jauh untukku. Apakah dia takut kepadaku? Misterius. Biasanya fans Panic selalu mendekatiku seperti lintah, atau itu hanyalah pikiranku yang irasional.
Dia selalu menunduk. Menghadap ke bawah dan mengangkat kepalanya jika pada saat yang penting. Ingin sekali aku berbicara dengannya, jika gadis yang kuhadapi tidak sehoror ini.
Oke. Pilihan terbaik hanyalah memandangnya. Sisa perjalanan, aku hanya memandangnya dengan cahaya yang kurang, dan dia dapat memanfaatkan kesempatan itu untuk bersembunyi di balik kegelapan. Maybe because she realized that Jakarta is a full city with full of crime, and I’m the one of that crime. Babe, I will go to the jail, even to the darkest hell, if you want me to.
Akhirnya kami telah tiba di hotel. I didn’t realize that we just checking in our room, nine hours after we arrived to Jakarta. Is it a long or short time? With my jumbled thoughts, aku mengambil koperku yang berada di dalam bagasi mobil. Hampir saja aku meninggalkan tas hitam besar yang baru aku sadari bahwa itu adalah milik Keri. Aku mengambilnya dan meletakkannya di dalam koperku, agar dia tidak menggagalkan rencanaku.
Aku berjalan ke dalam hotel bersama Keri di sebelahku. How lucky am I, Spencer dan Adrie telah duluan meninggalkan kami. Ah, we were just like lovebirds. Namun begitu, hatiku tidak tenang melihatnya gelisah dan sedih. Gusar, lebih baik aku melihat koperku… Tidak! In my bag, contains her life. I don’t wanna make me look like a bad guy in front of her, even I almost am.
“Is there something wrong, Keri? What happened?” sial. Kaku sekali. Damn it!
“Um, yeah, I lost my bag, and the key was in there too. I don’t know what I have to do.” Suaranya sedikit serak. Great, Brendon. You make her almost cry.
“You should ask the receptionist, and we gonna get our key too from them, so you will not feel alone, okay?”
“Okay. I guess so.”
“Now, shall we go?” ajakku sambil menyerahkan tanganku. Please take my hand, girl.
Dia terdiam untuk sejenak, namun akhirnya diam-diam dia mengambil tanganku juga. I’m floating in me. It felt so warm, even her hands as cold as ice.

Keri’s POV
Kami tiba di depan lift, dan akhirnya aku mendapatkan kunci penggantiku. Walaupun harus membayar, tapi tidak masalah bagiku, asal aku tidak berargumen terlebih dahulu dengan Brendon.
“Well, here. Let me pay for your key,” sahut Brendon beberapa menit yang lalu yang selalu mencoba untuk berbuat baik padaku.
“you’re so nice. But no, I can’t accept that.”
“Why? Is there something wrong with that?”
“No! I mean, I can pay it for myself.”
“Please, girl. Let me have it for you, and for my heart too. Please?” pintanya dengan puppy dog eyenya yang membuat cewek manapun akan meleleh.
Dan sialnya, dia mengatakan ‘my heart’ dengan keras sehingga semua orang yang berada di lobby hotel mengarahkan pandangan mereka pada kami. Ini sungguh memalukan.
“Okay, okay! I give up,”
“Yay! Alright!” teriaknya yang membuatku lebih malu lagi. Kenapa ADHD Brendon selalu kambuh?
Setelah melunaskan semua kepentingan, yang dibayar Brendon sendiri, kami berjalan ke arah lift. Pintu lift langsung menyambut kami, yang menurutku lebih ramah daripada doorboy.
“Which floor?” Tanya Brendon.
“Um, ninth.”
“No fucking way! Me too! What’s your room number?”
“In this key, four twenty five?”
“NO! Mine is four twenty seven! Your room is in front of my room!”
Aku terdiam. Dan semakin pucat. Aku tidak pernah menyangka aku akan tetap melihatnya, dan memandangnya dengan jarak kurang dari seratus meter! Badanku tiba-tiba menggigil. Aku yakin aku pastilah shock dengan semua ini. Sesuatu yang aku inginkan selama tiga tahun terakhir ini, terjadi secara berturut-turut seperti dongeng nyata.
“Are you okay?”
Aku mengarahkan kepalaku ke Brendon. Dia terlihat cemas. Heran. Kenapa dia cemas padaku? Apakah dia tidak tahu bahwa berada di sampingnya saja telah membuat jantungku lepas? Mungkin tidak.
“No, I’m fine. Why?”
“You seem different. Are you cold?”
Aku baru mengembalikan pikiranku bahwa tubuhku tetap menggigil. Tapi kali ini bukan karena Brendon. Lift ini menggunakan suhu yang sangat dingin! Dan semakin lama dinginnya menusuk kulit.
“A bit. But never mind,”
“Need some heat?”
“E…Ex…Excuse me?”
Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung melepaskan syalnya, dan melilitkannya padaku! Aku tidak menginginkannya, namun aku mau. Badanku langsung panas dingin, seperti hatiku yang berubah-ubah suhunya.
“But.. But.. Don’t you get cold without it?”
“You care about me?”
“Ye..Yeah, if you ask it that way.”
“Well, I do need some heat. This AC is too cold.”
“You can have this back,” ujarku sambil membuka lilitan syal Brendon yang berada di leherku.
“No, don’t!”
Tangan Brendon mencegahku membuka syalnya. Dan semuanya terasa sepi. Tidak ada yang bersuara di antara kami. hanya suara mesin lift yang bekerja yang ada. Segalanya terasa indah. Tangannya yang mencekal tanganku berpindah ke pinggangku, dan menarikku ke pangkuannya.
Tidak mungkin! Brendon Boyd Urie memelukku! Kepalanya dia letakkan di bahuku, seperti bantal baginya. Kepalaku dilekatkan ke dadanya, dan aku dapat merasakan colognenya yang segar. Dia menutup matanya dengan pelan, di saat aku bingung apa yang harus kuhadapi kali ini.
“All better?” bisiknya pelan.
Brendon, ini lebih dari baik! Ini fantastis! Ini luar biasa! Ini membuatku melayang! Ini..ini.. aku tidak dapat mengekspresikannya.
“Please, someone, pinch me. Please, someone, pinch me.” Bisikku sambil komat-kamit. Tolong, bilang ini tidak nyata!
Tiba-tiba, Brendon melepaskan pelukannya dan mencubit pipiku. Sebentar. Apa-apaan ini?
“Wh..What are you doing?”
“Pinch you. You ask for it.” Apakah sekeras itu aku berkomat-kamit?
“Well. Thanks.”
“You know, I always want to pinch your face.”
“What do you mean?”
“Your face is just like a baby!”
“Is that bad?”
Brendon tertawa. Aku baru tahu jika pertanyaan terakhir aku itu terkesan bodoh.
“Absolutely not. You’re cute.”
Oh Tuhan.

Brendon’s POV
Kami telah tiba di koridor, yang akan memisahkan kami malam ini. Ingin rasanya aku memeluknya kembali dan mengecup keningnya dan aku tahu rasanya mustahil untuk sekarang. Walaupun aku telah memeluknya tadi saat kami berdua berada di dalam lift tadi, dan aku merasa luar biasa, namun itu kurang. I want to kiss her.
Saat kami tiba di depan kamar kami, hanya diam kembali menguasai kami. But I love this silence. This calms me. Tiba-tiba dia melepaskan syal yang kuberikan, dan memberikannya padaku.
“Oh, you don’t have to. You can have it,”
“No, you help me a lot. And I can’t take that too much.”
“But that’s okay. I don’t mind it at all.”
“Please. Could you just take this?” pintanya dengan pasrah. Aku tidak dapat menambah pasrahnya dengan tidak mengambil kembali syalku.
Dia mulai memasukkan kunci ke dalam pintu kamarnya. Saat dia akan memasuki kamar itu, tanganku yang gatal menahan tangannya kembali.
“Y..Yeah?”
“Can I ask you something?”
“Sure. What?” tanyanya dengan muka bingung, dan pucat.
Okay. I can’t take it anymore. Sudah seharian aku membuatnya menderita. Aku tidak tahan lagi. Aku membuka koperku, mengambil tas hitam, dan memberikannya. That’s it. I’m done with this bag. Sekarang tinggal Keri yang aku takutkan. Mudah-mudahan dia marah.
“Here. This is your bag, isn’t it?”
Matanya langsung berkaca-kaca. Saat dia mengambilnya dariku, air matanya telah muncul di pipinya dan suara isakan mulai terdengar. Yes. This is all my fault. Lebih baik aku langsung masuk.
“Brendon, wait!”
Apakah dia memanggilku? Is this real? Can’t believe it at all! What is actually going on between her?
“Yeah?”
“How did you get my bag?” Jantungku berdetak lima kali lebih cepat.
“Well…”
“Please, say the truth.”
“Actually…”
“Please.”
Aku menyerah. “It’s all of my idea. I ask Spencer to stole your purse, and it’s all because I don’t wanna see you once. I want to see you every time.”
“But why?”
“I want to see..”
“No, I mean why did you ask Spencer to steal this.”
Pembuluh di dekat jantungku ada yang putus. “I had no idea what’s going on with me.”
Dia kembali terdiam. Dia hanya melihat ke lantai yang telah dialaskan karpet. Aku tidak mau berada di dalam situasi canggung seperti ini, walaupun aku sendirilah yang menciptakannya.
Gadis itu mengambil sesuatu di dalam tasnya, dan menyerahkan sebuah kotak padaku.
“Here. Happy Birthday.” Ujarnya.
Ini sungguhlah ulang tahun yang paling canggung yang pernah aku alami. Dia baru saja disiksa olehku, dan yang kudapat ialah kado ulang tahun? Aku sangatlah jahat.
“I bought this just for you. Hope you like it.” Suara datar menghiasi.
Bagaimana bisa aku tidak merasa aneh jika situasinya seperti ini? This is so odd. Namun akhirnya aku hanya dapat mengucapkan dua kata.
“Thank you.”
“Your welcome.” Dia memasuki kamarnya. Ini bukanlah seperti yang aku harapkan.
Please, girl. Forgive me. Please forgive me. I’m so sorry! Hatiku berteriak sekuat-kuatnya melihatnya menutup pintu. Tolong, maafkan aku! My life and this fuck birthday is full with guilty!
Namun tampaknya Keri tidak jadi masuk. Dia membuka kembali pintunya dan berjalan selangkah. Aku tidak mau membuang waktu untuk meminta maaf. Tapi…
BRUK BRUK! Dia memukulku dengan tas hitamnya, mendarat mulus di kedua pinggangku, dan membanting pintu kamarnya seolah terjadi dengan slowmotion.
Ouch, again.



No comments:

Post a Comment