so, a little summary. it's about Keri founding out that the glassy odd guy is someone who changes her life. if you wanna to find out, click here! ;) happy reading, i'm soooo sorry for my late, and keep reviewing :)))))
Regards,
Chapter 4 – Starstruck
Keri’s POV
Aku membuka
kacamata yang dipakai manusia yang tidak punya akal dan hati ini, dan sekarang
aku menyesal. Dia ialah Brendon Boyd Urie yang selalu aku idolakan! Aku tidak
percaya aku telah bertemu dengan vokalis Panic At The Disco, di tengah malam
bersama om Adrie Subono, dan dengan sangat lancang aku merebut kacamatanya. Aku
tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Apakah aku berteriak seperti fans-fans
lainnya? Atau aku harus pura-pura tidak mengetahui kejadian apapun? Ah, sungguh
bodoh aku ini.
Mata
cokelatnya yang mencair seperti kopi, raut wajah yang ekspresif, dan senyum
lebarnya hampir membuatku berteriak. Namun aku harus tahu diri. Di saat aku ingin
mengembalikan sikapku, dia malah tersenyum melihatku, dan kedua ujung bibirnya
melengkung indah. Oh, Tuhan, aku tidak tahan melihat senyum orang ini!
Sempurna.
Sekarang tubuhku mulai mengeluarkan reaksinya. Tanganku membeku, dadaku sesak,
perutku mual, kakiku bergetaran, dan bibirku terasa kering. Sepertinya tubuhku
mulai bereaksi lebih parah lagi, jika Brendon Urie tidak melihatku
terang-terangan! Apakah dia tidak sadar aku telah menyukainya semenjak tiga
tahun lalu, ketika dia masih berumur sepertiku dan baru mengeluarkan album A
Fever You Can’t Sweat Out? Apakah ada sesuatu di wajahku?
Aku
menyentuh mukaku, kuharap aku tidak berbuat lebih konyol lagi dengan
tindak-tandukku yang kagok ini. Tiba-tiba, Brendon memegang tanganku!
“Well,
shucks, you don’t have anything on your face, except gorgeous.”
Apa aku
salah mendengarnya? Apakah telingaku sedang rusak? Seorang bintang
internasional memegang tanganku dan berkata bahwa aku cantik? Mudah-mudahan aku
salah. Aku membenamkan wajahku sedalam-dalamnya agar dia tidak melihatku yang
sakit. Sakit karena berada di alam mimpi yang nyata.
Tapi
sungguh sial. Benar-benar di luar dugaan. Brendon malah semakin mendekatiku.
Aku tak tahu apa lagi yang akan terjadi. Jaraknya tinggal beberapa senti
dariku. Semoga aku tidak berbuat sesuatu bodoh.
“Well,
hello there.” Sapanya dengan senyum yang membuat setiap wanita terbuai.
Aku hanya
menatapnya tanpa membalasnya.
“Hei, I’m
Brendon. Sorry to not introducing myself when we met in the toystore. So,
what’s your name?” senyumnya lebar. Dia seperti anak kecil. Ya, itulah Brendon.
Sosok jiwa anak kecil yang terperangkap dalam tubuh seorang musisi yang
berbakat juga rupawan.
Ah, senyum
itu lagi. Senyum yang biasanya hanya dilihat dari Youtube, majalah, foto, dan
televisi, sekarang dapat dilihat secara live dan eksklusif hanya untukku.
Apakah ini yang namanya kesempatan?
“Come on
now. Don’t be shy. I’m not gonna hurt you.” Senyumnya lagi.
“I… um…”
“let me
know your name so I can call you easily. Call you ‘Miss’ makes me so awkward.”
“okay,” aku
berdeham. Tenggorokanku semakin gatal. “Keri.”
“Keri. Wow.
Cute name. ”
Aku tidak
dapat menolong diriku untuk tidak memerahkan mukaku. Dia selalu senyum
melihatku. Apakah aku terlihat seperti orang aneh?
“Hey
Brendon, you don’t introduce her to us! How could you!”
Tunggu
sebentar. Suara itu terdengar familiar. Datangnya dari orang yang duduk di
depanku, namun bukan Om Adrie. Siapa dia?
“Come on,
Spence. You already have one.”
“You just
don’t know how to thank to one who help you, do you?”
Spence?
Perasaan aku pernah mendengar namanya, tapi kapan? Ayolah Keri, pikir. Sial,
gara-gara Brendon aku tidak dapat berpikir jernih lagi. Lagipula, apa maksud
mereka? Apa yang sedang mereka bicarakan?
“Alright!
Now. Keri, this is...”
“Spencer.
Nice to meet you, girl.” Ujar ‘Spence’ yang langsung loncat menghadapku.
Ya ampun!
Dia adalah Spencer James Smith, drummer Panic! Kenapa aku terkena demam
starstruck? Setelah Adrie Subono, Brendon Urie, dan sekarang Spencer Smith. Apa
yang sedang terjadi denganku, Tuhan?
“N..Nice to
meet you too.” Aku baru sadar kalau aku mengatakannya dengan satu napas.
Biarkan saja dia tidak mengerti. Aku tidak dapat mengatakannya sekali lagi.
“Nah, Keri,
kamu tinggal di sini?” Tanya Om Adrie.
“Enggak om.
Saya dari Batam,”
“Batam? Kok
jauh banget? Untuk apa ke Jakarta?”
“Se..sebenarnya..
saya Cuma ingin nonton Panic At The Disco saja, Om.”
“Well,
well, guys, don’t you just heard? She came to this city, alone, just to watch
you guys!” seru Om Adrie kepada dua makhluk yang luar biasa penasaran dengan
apa yang baru kami bicarakan.
“Really?
Wow! That’s really great!” jawab Brendon semangat.
“Yeah! You
rule!” timpal Spencer.
“Th..thanks?”
“No, you
shouldn’t be.” Canda Spencer, lagi.
Aku tidak
sadar aku telah tertawa.
Brendon’s POV
Dia tertawa!
Aku tidak menyangka dia akhirnya dapat tertawa bersama kami! It’s really hard
to get her attention. Aku teringat ketika dia marah padaku pada saat kami
berada di Toys ‘R’ Us tadi, dan tiba-tiba mukanya pucat saat dia bertemu lagi
denganku, dan mengetahui siapa aku sebenarnya. I knew it! She adores me!
Aku
berusaha untuk mengetahui siapa Keri di balik wajah cantiknya, rambut hitam
panjang sebahunya, bibirnya yang mungil, mata cokelatnya yang bersinar, dan
topi manis yang terpajang di atas kepalanya yang membuat gadis ini lebih manis
daripada Sarah.
Sayang, aku
hanya dapat melihat Keri mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil seperti anak
kecil mengemut permen, which is the another reason why I like her so much, jika
berbicara dengan Spencer dan Adrie. Why do you can’t smile at me? I’m the one
who need your smile first!
Ketika aku
ingin mendekatinya, dia malah menjauh dan member jarak yang jauh untukku.
Apakah dia takut kepadaku? Misterius. Biasanya fans Panic selalu mendekatiku
seperti lintah, atau itu hanyalah pikiranku yang irasional.
Dia selalu
menunduk. Menghadap ke bawah dan mengangkat kepalanya jika pada saat yang
penting. Ingin sekali aku berbicara dengannya, jika gadis yang kuhadapi tidak
sehoror ini.
Oke.
Pilihan terbaik hanyalah memandangnya. Sisa perjalanan, aku hanya memandangnya
dengan cahaya yang kurang, dan dia dapat memanfaatkan kesempatan itu untuk
bersembunyi di balik kegelapan. Maybe because she realized that Jakarta is a
full city with full of crime, and I’m the one of that crime. Babe, I will go to
the jail, even to the darkest hell, if you want me to.
Akhirnya
kami telah tiba di hotel. I didn’t realize that we just checking in our room,
nine hours after we arrived to Jakarta. Is it a long or short time? With my
jumbled thoughts, aku mengambil koperku yang berada di dalam bagasi mobil.
Hampir saja aku meninggalkan tas hitam besar yang baru aku sadari bahwa itu
adalah milik Keri. Aku mengambilnya dan meletakkannya di dalam koperku, agar
dia tidak menggagalkan rencanaku.
Aku
berjalan ke dalam hotel bersama Keri di sebelahku. How lucky am I, Spencer dan
Adrie telah duluan meninggalkan kami. Ah, we were just like lovebirds. Namun
begitu, hatiku tidak tenang melihatnya gelisah dan sedih. Gusar, lebih baik aku
melihat koperku… Tidak! In my bag, contains her life. I don’t wanna make me
look like a bad guy in front of her, even I almost am.
“Is there
something wrong, Keri? What happened?” sial. Kaku sekali. Damn it!
“Um, yeah,
I lost my bag, and the key was in there too. I don’t know what I have to do.”
Suaranya sedikit serak. Great, Brendon. You make her almost cry.
“You should
ask the receptionist, and we gonna get our key too from them, so you will not
feel alone, okay?”
“Okay. I
guess so.”
“Now, shall
we go?” ajakku sambil menyerahkan tanganku. Please take my hand, girl.
Dia terdiam
untuk sejenak, namun akhirnya diam-diam dia mengambil tanganku juga. I’m
floating in me. It felt so warm, even her hands as cold as ice.
Keri’s POV
Kami tiba
di depan lift, dan akhirnya aku mendapatkan kunci penggantiku. Walaupun harus
membayar, tapi tidak masalah bagiku, asal aku tidak berargumen terlebih dahulu
dengan Brendon.
“Well,
here. Let me pay for your key,” sahut Brendon beberapa menit yang lalu yang
selalu mencoba untuk berbuat baik padaku.
“you’re so
nice. But no, I can’t accept that.”
“Why? Is
there something wrong with that?”
“No! I
mean, I can pay it for myself.”
“Please,
girl. Let me have it for you, and for my heart too. Please?” pintanya dengan
puppy dog eyenya yang membuat cewek manapun akan meleleh.
Dan
sialnya, dia mengatakan ‘my heart’ dengan keras sehingga semua orang yang
berada di lobby hotel mengarahkan pandangan mereka pada kami. Ini sungguh
memalukan.
“Okay,
okay! I give up,”
“Yay! Alright!”
teriaknya yang membuatku lebih malu lagi. Kenapa ADHD Brendon selalu kambuh?
Setelah melunaskan
semua kepentingan, yang dibayar Brendon sendiri, kami berjalan ke arah lift. Pintu
lift langsung menyambut kami, yang menurutku lebih ramah daripada doorboy.
“Which
floor?” Tanya Brendon.
“Um, ninth.”
“No fucking
way! Me too! What’s your room number?”
“In this
key, four twenty five?”
“NO! Mine
is four twenty seven! Your room is in front of my room!”
Aku terdiam.
Dan semakin pucat. Aku tidak pernah menyangka aku akan tetap melihatnya, dan
memandangnya dengan jarak kurang dari seratus meter! Badanku tiba-tiba
menggigil. Aku yakin aku pastilah shock dengan semua ini. Sesuatu yang aku
inginkan selama tiga tahun terakhir ini, terjadi secara berturut-turut seperti
dongeng nyata.
“Are you
okay?”
Aku mengarahkan
kepalaku ke Brendon. Dia terlihat cemas. Heran. Kenapa dia cemas padaku? Apakah
dia tidak tahu bahwa berada di sampingnya saja telah membuat jantungku lepas? Mungkin
tidak.
“No, I’m
fine. Why?”
“You seem
different. Are you cold?”
Aku baru
mengembalikan pikiranku bahwa tubuhku tetap menggigil. Tapi kali ini bukan
karena Brendon. Lift ini menggunakan suhu yang sangat dingin! Dan semakin lama
dinginnya menusuk kulit.
“A bit. But
never mind,”
“Need some
heat?”
“E…Ex…Excuse
me?”
Tanpa
menunggu jawabanku, dia langsung melepaskan syalnya, dan melilitkannya padaku! Aku
tidak menginginkannya, namun aku mau. Badanku langsung panas dingin, seperti
hatiku yang berubah-ubah suhunya.
“But.. But..
Don’t you get cold without it?”
“You care
about me?”
“Ye..Yeah,
if you ask it that way.”
“Well, I do
need some heat. This AC is too cold.”
“You can
have this back,” ujarku sambil membuka lilitan syal Brendon yang berada di
leherku.
“No, don’t!”
Tangan Brendon
mencegahku membuka syalnya. Dan semuanya terasa sepi. Tidak ada yang bersuara
di antara kami. hanya suara mesin lift yang bekerja yang ada. Segalanya terasa
indah. Tangannya yang mencekal tanganku berpindah ke pinggangku, dan menarikku ke
pangkuannya.
Tidak
mungkin! Brendon Boyd Urie memelukku! Kepalanya dia letakkan di bahuku, seperti
bantal baginya. Kepalaku dilekatkan ke dadanya, dan aku dapat merasakan
colognenya yang segar. Dia menutup matanya dengan pelan, di saat aku bingung
apa yang harus kuhadapi kali ini.
“All
better?” bisiknya pelan.
Brendon,
ini lebih dari baik! Ini fantastis! Ini luar biasa! Ini membuatku melayang! Ini..ini..
aku tidak dapat mengekspresikannya.
“Please,
someone, pinch me. Please, someone, pinch me.” Bisikku sambil komat-kamit. Tolong,
bilang ini tidak nyata!
Tiba-tiba,
Brendon melepaskan pelukannya dan mencubit pipiku. Sebentar. Apa-apaan ini?
“Wh..What
are you doing?”
“Pinch you.
You ask for it.” Apakah sekeras itu aku berkomat-kamit?
“Well.
Thanks.”
“You know, I
always want to pinch your face.”
“What do
you mean?”
“Your face
is just like a baby!”
“Is that
bad?”
Brendon
tertawa. Aku baru tahu jika pertanyaan terakhir aku itu terkesan bodoh.
“Absolutely
not. You’re cute.”
Oh Tuhan.
Brendon’s POV
Kami telah
tiba di koridor, yang akan memisahkan kami malam ini. Ingin rasanya aku
memeluknya kembali dan mengecup keningnya dan aku tahu rasanya mustahil untuk
sekarang. Walaupun aku telah memeluknya tadi saat kami berdua berada di dalam
lift tadi, dan aku merasa luar biasa, namun itu kurang. I want to kiss her.
Saat kami
tiba di depan kamar kami, hanya diam kembali menguasai kami. But I love this
silence. This calms me. Tiba-tiba dia melepaskan syal yang kuberikan, dan
memberikannya padaku.
“Oh, you
don’t have to. You can have it,”
“No, you
help me a lot. And I can’t take that too much.”
“But that’s
okay. I don’t mind it at all.”
“Please. Could
you just take this?” pintanya dengan pasrah. Aku tidak dapat menambah pasrahnya
dengan tidak mengambil kembali syalku.
Dia mulai
memasukkan kunci ke dalam pintu kamarnya. Saat dia akan memasuki kamar itu,
tanganku yang gatal menahan tangannya kembali.
“Y..Yeah?”
“Can I ask
you something?”
“Sure.
What?” tanyanya dengan muka bingung, dan pucat.
Okay. I can’t
take it anymore. Sudah seharian aku membuatnya menderita. Aku tidak tahan lagi.
Aku membuka koperku, mengambil tas hitam, dan memberikannya. That’s it. I’m
done with this bag. Sekarang tinggal Keri yang aku takutkan. Mudah-mudahan dia
marah.
“Here. This
is your bag, isn’t it?”
Matanya langsung
berkaca-kaca. Saat dia mengambilnya dariku, air matanya telah muncul di pipinya
dan suara isakan mulai terdengar. Yes. This is all my fault. Lebih baik aku
langsung masuk.
“Brendon,
wait!”
Apakah dia
memanggilku? Is this real? Can’t believe it at all! What is actually going on
between her?
“Yeah?”
“How did
you get my bag?” Jantungku berdetak lima kali lebih cepat.
“Well…”
“Please,
say the truth.”
“Actually…”
“Please.”
Aku
menyerah. “It’s all of my idea. I ask Spencer to stole your purse, and it’s all
because I don’t wanna see you once. I want to see you every time.”
“But why?”
“I want to
see..”
“No, I mean
why did you ask Spencer to steal this.”
Pembuluh di
dekat jantungku ada yang putus. “I had no idea what’s going on with me.”
Dia kembali
terdiam. Dia hanya melihat ke lantai yang telah dialaskan karpet. Aku tidak mau
berada di dalam situasi canggung seperti ini, walaupun aku sendirilah yang
menciptakannya.
Gadis itu
mengambil sesuatu di dalam tasnya, dan menyerahkan sebuah kotak padaku.
“Here.
Happy Birthday.” Ujarnya.
Ini
sungguhlah ulang tahun yang paling canggung yang pernah aku alami. Dia baru saja
disiksa olehku, dan yang kudapat ialah kado ulang tahun? Aku sangatlah jahat.
“I bought
this just for you. Hope you like it.” Suara datar menghiasi.
Bagaimana bisa
aku tidak merasa aneh jika situasinya seperti ini? This is so odd. Namun akhirnya
aku hanya dapat mengucapkan dua kata.
“Thank you.”
“Your
welcome.” Dia memasuki kamarnya. Ini bukanlah seperti yang aku harapkan.
Please, girl. Forgive me. Please forgive me. I’m
so sorry! Hatiku berteriak
sekuat-kuatnya melihatnya menutup pintu. Tolong, maafkan aku! My life and this
fuck birthday is full with guilty!
Namun tampaknya
Keri tidak jadi masuk. Dia membuka kembali pintunya dan berjalan selangkah. Aku
tidak mau membuang waktu untuk meminta maaf. Tapi…
BRUK BRUK! Dia
memukulku dengan tas hitamnya, mendarat mulus di kedua pinggangku, dan membanting
pintu kamarnya seolah terjadi dengan slowmotion.
Ouch, again.
No comments:
Post a Comment