while we waiting for it, do you guys get curious about another chapter of my fan fiction? well, now i have it!! happy reading, and give your comments so i can note you :)
regards,
Chapter 3 – Help!
Keri’s POV
Lemah.
Letih. Capek. Dan aku berterima kasih kepada bapak-bapak umur tiga puluhan yang
rupanya abang-abang yang baru masuk kepala dua. Walaupun begitu, sikapnya
seperti anak berumur sepuluh tahun! Apakah dia dibebaskan, benar-benar
dibebaskan oleh orang tuanya sehingga dia menjadi anak yang tidak tahu aturan
seperti ini? Kasihan sekali.
Tetapi
jujur saja, aku merasakan hal yang sungguh aneh ketika aku bertemu dengannya.
Aku merasa.. aman. Suaranya serak namun menenangkan, badannya yang tinggi
tegap, senyumnya yang sangat lebar, dikombinasikan dengan perangai buruk namun
menggelikan, hasilnya ialah dia. Si aneh yang menyenangkan.
Tunggu.
Keri, lupakan dia! Dialah yang menguntitmu, yang mencurigaimu tanpa alasan yang
jelas! Dan cowok aneh itu jugalah yang hamper mempermalukanmu, Keri! Ingat itu!
Memang, alangkah baiknya jika lelaki sialan itu ditampar. Cukup adil. Aku
mengernyit karena terlalu jauh memikirkan tentang kejadian di toko mainan tadi.
Pusing.
Aku sedang
berjalan ke pasar tradisional untuk membeli onde-onde. Ya, kalian dapat
berkomentar dan menyepelekan tentang hal ini, bilang aku selera kampungan, atau
apa saja aku tak peduli. Onde-onde memang makanan terbaik yang pernah aku
cicipi selama ini. Walaupun aku telah mencoba makanan yang mereka anggap
sebagai makanan kelas atas, namun aku tidak dapat berpaling dari si hijau satu
ini.
Di
sampingku rupanya ada yang menjual onde-onde. Tepat sekali! Perutku pun memberi
perintah agar diisi dengan si kenyal hijau manis ini. Sabar ya perutku, tahan
sebentar lagi. Aku mendekati kedai itu. Kedai itu cukup bersih, walaupun
keadaan di pasar itu sendiri agak menjijikkan. Wangi onde-onde itu pun terasa,
membuat aku harus menelan air liurku yang memberontak ingin keluar. Aku harus
membelinya. Sekarang juga.
“maaf, bu.”
“ya neng
geulis, mau beli apa neng?” sahut ibu penjual onde-onde. Penampilannya cukup
sederhana, dan cara bicaranya juga membuatku nyaman. Malu juga dipuji seperti
itu.
“beli
onde-ondenya ya, Bu, tiga bungkus.”
“ya ampun!
Banyak banget belinya atuh neng,” loh, kok ibu ini terkejut?
“lagi lapar
nih, Bu, jadi maklumin saja ya, Bu.” Jawabku sedikit canggung.
“Alhamdulillah!”
syukur ibu itu, “tunggu sebentar ya, neng. Ibu ambil yang baru siap masak
dulu,”
Ah. Ibu ini
baik banget mau memberi yang baru dimasak. Lagipula, onde-onde buatannya
kelihatan enak. Rasanya tidak sabar untuk mencobanya.
“kok
melamun, Neng? Nih, onde-ondenya sudah siap,” sahut ibu itu mengejutkanku.
“oh, sudah
ya Bu? Maaf ya Bu. Berapa semuanya?” tanyaku sambil mengacak isi di dalam
tasku. Di mana, sih dompetku?
“sepuluh
ribu, Neng.” Wah, kenapa di Jakarta harga makanan serba murah semua?
Akhirnya
aku menemukan dompetku. Coba kita lihat isinya. Hanya ada dua puluh ribu dan
lima puluh ribuan. Aku mengambil uang yang bergambar Otto Iskandardinata.
“ini, Bu,
duitnya,” ujarku sambil menyerahkan uang kepada ibu itu. “kembaliannya untuk
ibu saja,” sambungku sambil tersenyum.
“Alhamdulillah
Ya Allah! Terima kasih banyak Gusti! Terima kasih banyak, Neng!” katanya sambil
memelukku hingga aku hamper tidak dapat bernapas.
“I, iya,
Bu. Sama-sama. Saya pergi dulu, ya, Bu, terima kasih juga onde-ondenya,”
balasku. Sungguh. Penjual onde-onde itu sangat baik. Aku kagum.
Oke.
Sekarang saatnya aku menyantap cemilan yang masih hangat ini! Lidahku menunggu
dengan tidak sabar, perutku dari tadi berteriak minta diisi, dan otakku tak
henti-hentinya menyuruhku untuk memasukkan onde-onde tersebut ke dalam mulutku
yang sangat basah oleh air liur.
Saat
makanan hijau manis kecil itu hanya berjarak beberapa mili dari mulutku,
tiba-tiba ada yang menarik tasku! Bungkus onde-onde itu terjatuh, aku tidak
peduli. Aku berusaha menarik tasku kembali dari orang yang tidak aku kenal sama
sekali ini, dan terjadi tarik-menarik. Sialnya, tenaga orang ini tidak dapat
aku lawan dan tasku akhirnya dibawa pergi. Kurang ajar!
“PENCURI!
PENCURI!” teriakku yang membuat seluruh pengunjung pasar terkejut. Aku tidak
peduli karena ini situasi darurat.
“TOLONG!
ADA PENCURI!” teriakku kembali. Aku kalap. Aku tidak tahu lagi apa yang akan
aku lakukan saat ini. Lalu, beberapa orang berlari kepadaku.
“di mana
Mbak pencurinya?” Tanya salah seorang bapak.
“di sana,
yang sedang berlari sambil bawa tas hitam itu!” cemasku sambil menunjuk sosok
yang semakin lama semakin menjauh.
“KEJAR
DIA!” teriak bapak itu yang dibarengi teriakan yang lain secara serentak
layaknya koor.
Aku pun
ikut berlari mengikuti mereka. Tapi sial benar-benar berada di dalam tangan!
Segalaku telah raib! Handphone, iPod, dompet, kunci kamar hotel, bahkan kadoku
telah hilang. Bagaimana, nih? Bagaimana aku bisa pulang? Bagaimana aku bias
kembali tanpa membawa kuncinya? Apa aku akan telantar layaknya anak jalanan
selama satu minggu, atau bahkan selamanya?
Bisa-bisa
aku mati duluan karena hanya memakan onde-onde tanpa minum! Tunggu. Aku kan
telah mencampakkan cemilan itu pada saat aku berebut tas dengan si pencuri
sialan. Kenapa ini harus terjadi? Kenapa aku harus menderita mendadak sekarang?
Aku belum siap menerima penderitaan!
Kelenjar
air mataku mulai bereaksi. Aku belum dan tidak siap menghadapi masalah ini.
Ingin rasanya aku menuntut pencuri itu. Semoga hidupnya tidak selamat! Ah,
lupakan saja. Sudah berlalu juga. Lagi pula, mana mungkin pencuri mengembalikan
barang yang telah ia curi dari korbannya? Aneh sekali. Pikirkan nasibmu saat
ini, Keri.
Sekarang
aku akan ke mana? Ke arah mana aku akan pergi? Aku tidak tahu di mana lokasiku
sekarang. Aku melihat jam tanganku, yang untungnya tidak dicuri, dan sekarang
telah pukul lima sore. Matahari pun telah mengganti shiftnya. Semakin lama,
semakin gelap. Tidak terasa, pipiku semakin basah saat aku menyentuhnya. Aku
belum mau, dan aku tidak mau. Aku terus berjalan, hingga rasanya aku capek.
Capek, lelah, letih dengan kejadian sial gara-gara pencopet brengsek itu.
Di ujung
jalan, aku melihat spanduk Panic! At The Disco berukuran sangat besar. Aku
memutuskan untuk beristirahat sejenak di bawah spanduk itu. Aku sangat lapar,
haus, dan menyedihkan. Aku bermenung di sana, hingga aku tidak sadar bahwa
bulan terlihat terang dan jalanan semakin gemerlapan.
Saat aku
duduk dan merenungi nasib, aku merasa ada yang sangat ganjal di dalam celanaku.
Saat aku memeriksa bagian kantong celanaku, rupanya terdapatkartu kredit papa
yang diberikan tadi siang! Aku tidak menggunakannya dari tadi, dan aku memang
tidak mau menggunakannya kecuali di saat penting. Awalnya aku senang dengan
adanya kartu itu, namun aku akhirnya sadar bahwa kartu kredit itu tidak dapat
dipakai untuk membayar transportasi, bahkan untuk taxi sekalipun.
Kembali aku
bermenung. Kedua kakiku aku angkat, dan menyandarkan daguku di lututku. Sejenak
aku mendongak dan melihat spanduk Panic! untuk waktu yang lama. Ya Allah,
kenapa aku tidak dapat menonton mereka, padahal aku dan orang tuaku telah susah
payah pergi ke Jakarta hanya untuk melihat penampilan band ini!
Aku kembali
menghadap jalanan sambil menangis. Aku tidak tahu ke mana tujuan yang akan aku
ambil. Namun tiba-tiba, sesuatu yang tidak enak terjadi kembali. Aku merasa ada
orang di belakangku. Dan tanpa ada yang menyuruh, seseorang telah menyentuh
pundakku. Aku sangat ketakutan! Aku melihat ke belakang, dan rupanya itu
ialah.. Ya Allah, tolonglah Hambamu ini!
Brendon’s POV
“Damn,
Brendon, promise me you will NOT asking a favor like this anymore,” ujar
Spencer di telepon padaku sambil menekankan kata ‘not’. Sungguh, ini memang
tidak ada kelucuan sama sekali, namun berhasil membuat perutku sakit mendengar
keluhan Spencer. Game one.
“Even If I
give you the latest and most expensive drum set?”
“NEVER! I
suggest you should look at her face right now. She looked so desperate, thanks
for your goofy idea.”
Benar juga
apa yang dikatakan Spencer. Aku tidak akan menjalankan, well at least Spencer
did it, melancarkan ide brilianku jika cewek manis yang membuat aku mengambang
itu, tidak menamparku. Bias dibilang, ini balas dendamku. Lagipula, aku ingin
bertemu dengannya dan rasanya janggal jika tidak melihat dirinya dua puluh
empat kali dalam sehari dan tujuh kali dalam seminggu. Wait a sec, I just knew
her in few hours ago! So is this thing called love in the first sight, eh?
Aku
menunggu Spencer di dalam mobil di tepi jalanan, tidak terlalu jauh dari pasar
tempat rencana kami dijalankan. Bersama Adrie, kami menunggu. Why he took it so
long? My curiosity is on my max! Aku merasa Adrie menetahui gerakanku yang
sejak tadi gelisah terus-menerus.
“hey,
Brendon, what’s the matter? It seems like you were worried or something,”
“am i?”
tanyaku kembali. Keheningan terpecahkan. Thank God.
“no,
nothing,” lanjutku, “just wondering why Spencer come back so long,”
Aku tidak
bisa bicara jujur dengan Adrie, apalagi tampaknya dia agak galak soal urusan
pribadi. I guess.
“is this
all about woman? Woman trouble, perhaps?”
“wh..
what?” tanyaku tergagap. How could he know it? Is he a wizard?
“I say, is
this thing is all about falling in love with a girl?” tanyanya kembali.
Kenapa dia
bias tahu? Apa mungkin karena dia lebih tua daripada kami dan lebih
berpengalaman? Or is there a sentence over my face that he can read it by
himself?
“do you
believe in love on first sight?” kata-kata itu meluncur cepat di bibirku. Okay.
Why I should ask that? This could get any worse! Ah, damn it!
“of course
I believe. Why did you ask that?”
Okay. He
speaks my language. For your information, I don’t consultate my private problem
to other people, except my friends. But, should I ask him again? Sepertinya dia
dapat dipercaya. Mudah-mudahan.
“well,
actually..” suaraku semakin serak. Tiba-tiba..
BRAK! Pintu
mobil terbuka. Spencer.
“backline.
Now.” Perintahnya. Sungguh suram.
Aku
langsung pindah ke jok belakang, daripada membuatnya semakin marah. He was
awful. Rambut dan pakaiannya acak-acakan, nafas tersengal-sengal, muka yang
merah dicampur lelah dan marah, dan tas hitam yang dia genggam. That’s the
girls’s bag! He did it!
“here’s
what you need. Anything else?” tanyanya memaksa. I think I mess his day.
“is it
difficult?”
“not really
if you getting run from there, the challenge is pretty good. But looking at
that girl’s face is hell no! she was so desperate until I wanna cancel our
agreement! Where is it?”
Aku
memberikannya tujuh puluh lima dolar. Fair enough.
“now where
is she? She isn’t far from here, is she?” tanyaku.
“I think
she at the street or something. The path when we saw our super big banner?”
“do you
know where is it, Adrie?” tanyaku kembali kepada Adrie.
“okay,
we’re heading right away.”
Mobil telah
berjalan. Sambil melihat jalanan, and her of course, aku membuka tas hitam yang
telah diambil Spencer tanpa izin ini di sampingku. Isinya sedikit. Aku rasa
gadis ini anak yang simple. iPhone, iPod, dompet, kunci, dan kado yang kami
ributkan tadi. I love the way she reached this game. Aku geli sendiri mengingat
kejadian tadi. And looks like I’ve got another brilliant ideas.
Kami telah
sampai. We’re already in the place and saw that girl. She looks so sad. Dan
tiba-tiba, tubuhku kembali berguncang dengan kaku. Kenapa lagi denganku? Sial.
Cewek ini menangis. I’m sory, girl, I really am! Aku tidak tahan jika melihat
orang mengeluarkan air mata, especially her. Man, I have to rescue her with
this plan!
Aku
menyuruh Adrie untuk berhenti di tepi jalan, tak jauh dari tempat cewek itu
duduk. Aku ingin menolongnya. Setelah keluar dari mobil, dan sekarang aku
berada tepat di belakangnya. Okay, Brendon. Tarik napas terlebih dahulu. Okay,
girl, I will save your life!
Keri’s POV
Napasku
tercekat. Jantungku berdegup terlalu cepat. Aliran darahku terasa terhenti.
Perasaanku semakin tidak enak. Tiba-tiba, ada yang menutup mulutku dari
belakang! Aku mencoba untuk bersuara namun tetap saja tidak bisa. Siapa ini?
“Mmph..
Mmph..” sia-sia saja aku bersuara.
“Ssh!” dia
membuat suara untuk menyuruhku diam.
Aneh.
Biasanya aku harus takut dengan dia dan bersiap-siap memasang kuda-kuda untuk
menghajarnya. Tetapi kenapa aku tidak melakukan apa-apa dan menuruti apa yang
dia perintahkan?
Kepalanya
menindih kepalaku yang ditempelkan ke dadanya. Dagunya dia sandarkan ke
kepalaku. Nafasnya memburu, dan aku dapat mendengar jantungnya yang bertabuh
begitu cepat. Tangannya yang besar dan hangat menyentuh tanganku, seperti
memberiku sedikit kekuatan. Aku terhipnotis. Aneh sekali. Siapa dia sebenarnya?
Aku
diseretnya ke dalam sebuah mobil semacam Yaris yang berwarna hitam, dengan
tenang dan cepat. Kenapa aku setuju-setuju saja dibawa olehnya? Kenapa aku
setuju untuk diculik? Ada apa dengan aku dan segala yang dapat membuatku gila
ini?
Mobil pun
telah dijalankan, begitu juga kesadaranku. Aku telah dibawa oleh tiga orang
yang tidak dikenal. Inikah akhir hidup aku? Menyedihkan sekali. Tangan manusia
yang menutup mulutku telah dilepaskan.
Pasrah.
Hanya itu yang kurasakan. Aku diculik oleh manusia jahat yang berada di
sampingku, dan dua makhluk biadab lain yang berada di depanku. Kenapa ada
makhluk yang mau dikuasain setan seperti ini. Padahal.. tunggu. Supir itu,
bukannya dia.. oh tidak.
Jangan
bilang kalau itu adalah om Adrie Subono! Orang yang paling berjasa buatku
karena dialah yang memberikan tiket eksklusif Panic! At The Disco padaku. Aku
mengikuti kompetisi yang dia adakan, dan aku memenangkan tiket Panic!. Kenapa
dia malah terlibat di sini? Dan aku tidak percaya dia sedang bertanya padaku!
“mau ke
mana, dik?”
Bingung.
Antara harus teriak senang seperti fans berat yang telah diberkati, atau teriak
takut seperti bertemu dengan hantu. Lebih baik diam.
“hey, dik,
mau diantar ke mana?” tanyanya sekali ini, lengkap dengan senyuman.
Astaga.
Adrie Subono ingin mengantarku pulang! Paru-paruku sesak menerima kenyataan
ini. Apakah aku harus bersyukur kepada Allah? Terima kasih Ya Allah, akhirnya
ada orang yang mau mengantarkan aku pulang. Dan sekarang apa yang harus
kukatakan? Ini serius?
Akhirnya
aku mengeluarkan suara. “K..Ke Hotel Grand Indonesia, om.”
Tunggu.
Kenapa aku harus menjawabnya? Sekarang aku sedang diseret oleh Adrie Subono,
orang yang kukira baik ternyata berbanding terbalik, beserta dua komplotan
anehnya! Bego!
“Hey,
that’s where we will stay tonight!” sahut manusia
yang-menculikku-dengan-tenang-namun-aneh-sekali ini. Sebentar. Suara itu..
“YOU
AGAIN?” teriakku. Kenapa aku bisa bertemu lagi dengan abang-abang yang anehnya
luar biasa ini? Apakah tidak cukup dengan hanya pertemuan di toko mainan itu
tadi?
“hey, hey,
why are you yelling at me?” tanyanya dengan perilaku tanpa dosa.
Uh, anak
ini. Memangnya aku mudah dipermainkan begitu saja? Mungkin dia boleh menipu
cewek yang dengan bodohnya bisa terperangkap dengan dirinya, namun aku tidak.
aku sangat sulit untuk ditipu.
“oh no.
don’t play dumb on me, Mister! Who are you? What do you want from me?” tanyaku
dengan kasar.
“just one
of your secret admirer, and I want you,” balasnya tertawa.
Memangnya
dia piker ini lucu? Mukaku semakin lama semakin padam, dan marahku tidak dapat
dikendalikan lagi. Aku muak dengan penyamaran bodoh yang ia kenakan, termasuk
kacamata aneh itu. Kenapa dia tidak melepaskan kacamata cokelat itu dari tadi?
Dengan
inisiatif dari diriku sendiri, aku membuka paksa kacamata yang ia gunakan.
Dan
ternyata, dia adalah.. Astaga.
No comments:
Post a Comment