Wednesday, June 1, 2011

Starstruck in The Awkward Way (Chapter 3 - Help!)

Hallo! happy first june! happy annual Pancasila day! finally, it's the early of a month, and i hope i will get more inspiration with this blog. HA. well, 3 days from now, i will get a decision. this is not ordinary decision, it's about my successful decision. hope on 4th June i will pass the National Exam. Amin.

while we waiting for it, do you guys get curious about another chapter of my fan fiction? well, now i have it!! happy reading, and give your comments so i can note you :)

regards,




Chapter 3 – Help!

Keri’s POV
Lemah. Letih. Capek. Dan aku berterima kasih kepada bapak-bapak umur tiga puluhan yang rupanya abang-abang yang baru masuk kepala dua. Walaupun begitu, sikapnya seperti anak berumur sepuluh tahun! Apakah dia dibebaskan, benar-benar dibebaskan oleh orang tuanya sehingga dia menjadi anak yang tidak tahu aturan seperti ini? Kasihan sekali.
Tetapi jujur saja, aku merasakan hal yang sungguh aneh ketika aku bertemu dengannya. Aku merasa.. aman. Suaranya serak namun menenangkan, badannya yang tinggi tegap, senyumnya yang sangat lebar, dikombinasikan dengan perangai buruk namun menggelikan, hasilnya ialah dia. Si aneh yang menyenangkan.
Tunggu. Keri, lupakan dia! Dialah yang menguntitmu, yang mencurigaimu tanpa alasan yang jelas! Dan cowok aneh itu jugalah yang hamper mempermalukanmu, Keri! Ingat itu! Memang, alangkah baiknya jika lelaki sialan itu ditampar. Cukup adil. Aku mengernyit karena terlalu jauh memikirkan tentang kejadian di toko mainan tadi. Pusing.
Aku sedang berjalan ke pasar tradisional untuk membeli onde-onde. Ya, kalian dapat berkomentar dan menyepelekan tentang hal ini, bilang aku selera kampungan, atau apa saja aku tak peduli. Onde-onde memang makanan terbaik yang pernah aku cicipi selama ini. Walaupun aku telah mencoba makanan yang mereka anggap sebagai makanan kelas atas, namun aku tidak dapat berpaling dari si hijau satu ini.
Di sampingku rupanya ada yang menjual onde-onde. Tepat sekali! Perutku pun memberi perintah agar diisi dengan si kenyal hijau manis ini. Sabar ya perutku, tahan sebentar lagi. Aku mendekati kedai itu. Kedai itu cukup bersih, walaupun keadaan di pasar itu sendiri agak menjijikkan. Wangi onde-onde itu pun terasa, membuat aku harus menelan air liurku yang memberontak ingin keluar. Aku harus membelinya. Sekarang juga.
“maaf, bu.”
“ya neng geulis, mau beli apa neng?” sahut ibu penjual onde-onde. Penampilannya cukup sederhana, dan cara bicaranya juga membuatku nyaman. Malu juga dipuji seperti itu.
“beli onde-ondenya ya, Bu, tiga bungkus.”
“ya ampun! Banyak banget belinya atuh neng,” loh, kok ibu ini terkejut?
“lagi lapar nih, Bu, jadi maklumin saja ya, Bu.” Jawabku sedikit canggung.
“Alhamdulillah!” syukur ibu itu, “tunggu sebentar ya, neng. Ibu ambil yang baru siap masak dulu,”
Ah. Ibu ini baik banget mau memberi yang baru dimasak. Lagipula, onde-onde buatannya kelihatan enak. Rasanya tidak sabar untuk mencobanya.
“kok melamun, Neng? Nih, onde-ondenya sudah siap,” sahut ibu itu mengejutkanku.
“oh, sudah ya Bu? Maaf ya Bu. Berapa semuanya?” tanyaku sambil mengacak isi di dalam tasku. Di mana, sih dompetku?
“sepuluh ribu, Neng.” Wah, kenapa di Jakarta harga makanan serba murah semua?
Akhirnya aku menemukan dompetku. Coba kita lihat isinya. Hanya ada dua puluh ribu dan lima puluh ribuan. Aku mengambil uang yang bergambar Otto Iskandardinata.
“ini, Bu, duitnya,” ujarku sambil menyerahkan uang kepada ibu itu. “kembaliannya untuk ibu saja,” sambungku sambil tersenyum.
“Alhamdulillah Ya Allah! Terima kasih banyak Gusti! Terima kasih banyak, Neng!” katanya sambil memelukku hingga aku hamper tidak dapat bernapas.
“I, iya, Bu. Sama-sama. Saya pergi dulu, ya, Bu, terima kasih juga onde-ondenya,” balasku. Sungguh. Penjual onde-onde itu sangat baik. Aku kagum.
Oke. Sekarang saatnya aku menyantap cemilan yang masih hangat ini! Lidahku menunggu dengan tidak sabar, perutku dari tadi berteriak minta diisi, dan otakku tak henti-hentinya menyuruhku untuk memasukkan onde-onde tersebut ke dalam mulutku yang sangat basah oleh air liur.
Saat makanan hijau manis kecil itu hanya berjarak beberapa mili dari mulutku, tiba-tiba ada yang menarik tasku! Bungkus onde-onde itu terjatuh, aku tidak peduli. Aku berusaha menarik tasku kembali dari orang yang tidak aku kenal sama sekali ini, dan terjadi tarik-menarik. Sialnya, tenaga orang ini tidak dapat aku lawan dan tasku akhirnya dibawa pergi. Kurang ajar!
“PENCURI! PENCURI!” teriakku yang membuat seluruh pengunjung pasar terkejut. Aku tidak peduli karena ini situasi darurat.
“TOLONG! ADA PENCURI!” teriakku kembali. Aku kalap. Aku tidak tahu lagi apa yang akan aku lakukan saat ini. Lalu, beberapa orang berlari kepadaku.
“di mana Mbak pencurinya?” Tanya salah seorang bapak.
“di sana, yang sedang berlari sambil bawa tas hitam itu!” cemasku sambil menunjuk sosok yang semakin lama semakin menjauh.
“KEJAR DIA!” teriak bapak itu yang dibarengi teriakan yang lain secara serentak layaknya koor.
Aku pun ikut berlari mengikuti mereka. Tapi sial benar-benar berada di dalam tangan! Segalaku telah raib! Handphone, iPod, dompet, kunci kamar hotel, bahkan kadoku telah hilang. Bagaimana, nih? Bagaimana aku bisa pulang? Bagaimana aku bias kembali tanpa membawa kuncinya? Apa aku akan telantar layaknya anak jalanan selama satu minggu, atau bahkan selamanya?
Bisa-bisa aku mati duluan karena hanya memakan onde-onde tanpa minum! Tunggu. Aku kan telah mencampakkan cemilan itu pada saat aku berebut tas dengan si pencuri sialan. Kenapa ini harus terjadi? Kenapa aku harus menderita mendadak sekarang? Aku belum siap menerima penderitaan!
Kelenjar air mataku mulai bereaksi. Aku belum dan tidak siap menghadapi masalah ini. Ingin rasanya aku menuntut pencuri itu. Semoga hidupnya tidak selamat! Ah, lupakan saja. Sudah berlalu juga. Lagi pula, mana mungkin pencuri mengembalikan barang yang telah ia curi dari korbannya? Aneh sekali. Pikirkan nasibmu saat ini, Keri.
Sekarang aku akan ke mana? Ke arah mana aku akan pergi? Aku tidak tahu di mana lokasiku sekarang. Aku melihat jam tanganku, yang untungnya tidak dicuri, dan sekarang telah pukul lima sore. Matahari pun telah mengganti shiftnya. Semakin lama, semakin gelap. Tidak terasa, pipiku semakin basah saat aku menyentuhnya. Aku belum mau, dan aku tidak mau. Aku terus berjalan, hingga rasanya aku capek. Capek, lelah, letih dengan kejadian sial gara-gara pencopet brengsek itu.
Di ujung jalan, aku melihat spanduk Panic! At The Disco berukuran sangat besar. Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di bawah spanduk itu. Aku sangat lapar, haus, dan menyedihkan. Aku bermenung di sana, hingga aku tidak sadar bahwa bulan terlihat terang dan jalanan semakin gemerlapan.
Saat aku duduk dan merenungi nasib, aku merasa ada yang sangat ganjal di dalam celanaku. Saat aku memeriksa bagian kantong celanaku, rupanya terdapatkartu kredit papa yang diberikan tadi siang! Aku tidak menggunakannya dari tadi, dan aku memang tidak mau menggunakannya kecuali di saat penting. Awalnya aku senang dengan adanya kartu itu, namun aku akhirnya sadar bahwa kartu kredit itu tidak dapat dipakai untuk membayar transportasi, bahkan untuk taxi sekalipun.
Kembali aku bermenung. Kedua kakiku aku angkat, dan menyandarkan daguku di lututku. Sejenak aku mendongak dan melihat spanduk Panic! untuk waktu yang lama. Ya Allah, kenapa aku tidak dapat menonton mereka, padahal aku dan orang tuaku telah susah payah pergi ke Jakarta hanya untuk melihat penampilan band ini!
Aku kembali menghadap jalanan sambil menangis. Aku tidak tahu ke mana tujuan yang akan aku ambil. Namun tiba-tiba, sesuatu yang tidak enak terjadi kembali. Aku merasa ada orang di belakangku. Dan tanpa ada yang menyuruh, seseorang telah menyentuh pundakku. Aku sangat ketakutan! Aku melihat ke belakang, dan rupanya itu ialah.. Ya Allah, tolonglah Hambamu ini!

Brendon’s POV
“Damn, Brendon, promise me you will NOT asking a favor like this anymore,” ujar Spencer di telepon padaku sambil menekankan kata ‘not’. Sungguh, ini memang tidak ada kelucuan sama sekali, namun berhasil membuat perutku sakit mendengar keluhan Spencer. Game one.
“Even If I give you the latest and most expensive drum set?”
“NEVER! I suggest you should look at her face right now. She looked so desperate, thanks for your goofy idea.”
Benar juga apa yang dikatakan Spencer. Aku tidak akan menjalankan, well at least Spencer did it, melancarkan ide brilianku jika cewek manis yang membuat aku mengambang itu, tidak menamparku. Bias dibilang, ini balas dendamku. Lagipula, aku ingin bertemu dengannya dan rasanya janggal jika tidak melihat dirinya dua puluh empat kali dalam sehari dan tujuh kali dalam seminggu. Wait a sec, I just knew her in few hours ago! So is this thing called love in the first sight, eh?
Aku menunggu Spencer di dalam mobil di tepi jalanan, tidak terlalu jauh dari pasar tempat rencana kami dijalankan. Bersama Adrie, kami menunggu. Why he took it so long? My curiosity is on my max! Aku merasa Adrie menetahui gerakanku yang sejak tadi gelisah terus-menerus.
“hey, Brendon, what’s the matter? It seems like you were worried or something,”
“am i?” tanyaku kembali. Keheningan terpecahkan. Thank God.
“no, nothing,” lanjutku, “just wondering why Spencer come back so long,”
Aku tidak bisa bicara jujur dengan Adrie, apalagi tampaknya dia agak galak soal urusan pribadi. I guess.
“is this all about woman? Woman trouble, perhaps?”
“wh.. what?” tanyaku tergagap. How could he know it? Is he a wizard?
“I say, is this thing is all about falling in love with a girl?” tanyanya kembali.
Kenapa dia bias tahu? Apa mungkin karena dia lebih tua daripada kami dan lebih berpengalaman? Or is there a sentence over my face that he can read it by himself?
“do you believe in love on first sight?” kata-kata itu meluncur cepat di bibirku. Okay. Why I should ask that? This could get any worse! Ah, damn it!
“of course I believe. Why did you ask that?”
Okay. He speaks my language. For your information, I don’t consultate my private problem to other people, except my friends. But, should I ask him again? Sepertinya dia dapat dipercaya. Mudah-mudahan.
“well, actually..” suaraku semakin serak. Tiba-tiba..
BRAK! Pintu mobil terbuka. Spencer.
“backline. Now.” Perintahnya. Sungguh suram.
Aku langsung pindah ke jok belakang, daripada membuatnya semakin marah. He was awful. Rambut dan pakaiannya acak-acakan, nafas tersengal-sengal, muka yang merah dicampur lelah dan marah, dan tas hitam yang dia genggam. That’s the girls’s bag! He did it!
“here’s what you need. Anything else?” tanyanya memaksa. I think I mess his day.
“is it difficult?”
“not really if you getting run from there, the challenge is pretty good. But looking at that girl’s face is hell no! she was so desperate until I wanna cancel our agreement! Where is it?”
Aku memberikannya tujuh puluh lima dolar. Fair enough.
“now where is she? She isn’t far from here, is she?” tanyaku.
“I think she at the street or something. The path when we saw our super big banner?”
“do you know where is it, Adrie?” tanyaku kembali kepada Adrie.
“okay, we’re heading right away.”
Mobil telah berjalan. Sambil melihat jalanan, and her of course, aku membuka tas hitam yang telah diambil Spencer tanpa izin ini di sampingku. Isinya sedikit. Aku rasa gadis ini anak yang simple. iPhone, iPod, dompet, kunci, dan kado yang kami ributkan tadi. I love the way she reached this game. Aku geli sendiri mengingat kejadian tadi. And looks like I’ve got another brilliant ideas.
Kami telah sampai. We’re already in the place and saw that girl. She looks so sad. Dan tiba-tiba, tubuhku kembali berguncang dengan kaku. Kenapa lagi denganku? Sial. Cewek ini menangis. I’m sory, girl, I really am! Aku tidak tahan jika melihat orang mengeluarkan air mata, especially her. Man, I have to rescue her with this plan!
Aku menyuruh Adrie untuk berhenti di tepi jalan, tak jauh dari tempat cewek itu duduk. Aku ingin menolongnya. Setelah keluar dari mobil, dan sekarang aku berada tepat di belakangnya. Okay, Brendon. Tarik napas terlebih dahulu. Okay, girl, I will save your life!

Keri’s POV
Napasku tercekat. Jantungku berdegup terlalu cepat. Aliran darahku terasa terhenti. Perasaanku semakin tidak enak. Tiba-tiba, ada yang menutup mulutku dari belakang! Aku mencoba untuk bersuara namun tetap saja tidak bisa. Siapa ini?
“Mmph.. Mmph..” sia-sia saja aku bersuara.
“Ssh!” dia membuat suara untuk menyuruhku diam.
Aneh. Biasanya aku harus takut dengan dia dan bersiap-siap memasang kuda-kuda untuk menghajarnya. Tetapi kenapa aku tidak melakukan apa-apa dan menuruti apa yang dia perintahkan?
Kepalanya menindih kepalaku yang ditempelkan ke dadanya. Dagunya dia sandarkan ke kepalaku. Nafasnya memburu, dan aku dapat mendengar jantungnya yang bertabuh begitu cepat. Tangannya yang besar dan hangat menyentuh tanganku, seperti memberiku sedikit kekuatan. Aku terhipnotis. Aneh sekali. Siapa dia sebenarnya?
Aku diseretnya ke dalam sebuah mobil semacam Yaris yang berwarna hitam, dengan tenang dan cepat. Kenapa aku setuju-setuju saja dibawa olehnya? Kenapa aku setuju untuk diculik? Ada apa dengan aku dan segala yang dapat membuatku gila ini?
Mobil pun telah dijalankan, begitu juga kesadaranku. Aku telah dibawa oleh tiga orang yang tidak dikenal. Inikah akhir hidup aku? Menyedihkan sekali. Tangan manusia yang menutup mulutku telah dilepaskan.
Pasrah. Hanya itu yang kurasakan. Aku diculik oleh manusia jahat yang berada di sampingku, dan dua makhluk biadab lain yang berada di depanku. Kenapa ada makhluk yang mau dikuasain setan seperti ini. Padahal.. tunggu. Supir itu, bukannya dia.. oh tidak.
Jangan bilang kalau itu adalah om Adrie Subono! Orang yang paling berjasa buatku karena dialah yang memberikan tiket eksklusif Panic! At The Disco padaku. Aku mengikuti kompetisi yang dia adakan, dan aku memenangkan tiket Panic!. Kenapa dia malah terlibat di sini? Dan aku tidak percaya dia sedang bertanya padaku!
“mau ke mana, dik?”
Bingung. Antara harus teriak senang seperti fans berat yang telah diberkati, atau teriak takut seperti bertemu dengan hantu. Lebih baik diam.
“hey, dik, mau diantar ke mana?” tanyanya sekali ini, lengkap dengan senyuman.
Astaga. Adrie Subono ingin mengantarku pulang! Paru-paruku sesak menerima kenyataan ini. Apakah aku harus bersyukur kepada Allah? Terima kasih Ya Allah, akhirnya ada orang yang mau mengantarkan aku pulang. Dan sekarang apa yang harus kukatakan? Ini serius?
Akhirnya aku mengeluarkan suara. “K..Ke Hotel Grand Indonesia, om.”
Tunggu. Kenapa aku harus menjawabnya? Sekarang aku sedang diseret oleh Adrie Subono, orang yang kukira baik ternyata berbanding terbalik, beserta dua komplotan anehnya! Bego!
“Hey, that’s where we will stay tonight!” sahut manusia yang-menculikku-dengan-tenang-namun-aneh-sekali ini. Sebentar. Suara itu..
“YOU AGAIN?” teriakku. Kenapa aku bisa bertemu lagi dengan abang-abang yang anehnya luar biasa ini? Apakah tidak cukup dengan hanya pertemuan di toko mainan itu tadi?
“hey, hey, why are you yelling at me?” tanyanya dengan perilaku tanpa dosa.
Uh, anak ini. Memangnya aku mudah dipermainkan begitu saja? Mungkin dia boleh menipu cewek yang dengan bodohnya bisa terperangkap dengan dirinya, namun aku tidak. aku sangat sulit untuk ditipu.
“oh no. don’t play dumb on me, Mister! Who are you? What do you want from me?” tanyaku dengan kasar.
“just one of your secret admirer, and I want you,” balasnya tertawa.
Memangnya dia piker ini lucu? Mukaku semakin lama semakin padam, dan marahku tidak dapat dikendalikan lagi. Aku muak dengan penyamaran bodoh yang ia kenakan, termasuk kacamata aneh itu. Kenapa dia tidak melepaskan kacamata cokelat itu dari tadi?
Dengan inisiatif dari diriku sendiri, aku membuka paksa kacamata yang ia gunakan.
Dan ternyata, dia adalah.. Astaga.

No comments:

Post a Comment